𝐌𝐞𝐧𝐤𝐨𝐦𝐢𝐧𝐟𝐨 𝐁𝐮𝐝𝐢 𝐀𝐫𝐢𝐞 𝐃𝐢𝐝𝐞𝐬𝐚𝐤 𝐌𝐮𝐧𝐝𝐮𝐫 𝐏𝐚𝐬𝐜𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐞𝐭𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐮𝐬𝐚𝐭 𝐃𝐚𝐭𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 (𝐏𝐃𝐍)

JAKARTA (INDONESIAKINI.id) – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menghadapi tekanan untuk mundur dari jabatannya menyusul insiden peretasan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) yang menyebabkan gangguan pada berbagai layanan publik di Indonesia. Serangan siber ini melumpuhkan layanan penting termasuk sistem keimigrasian di bawah Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

Desakan agar Budi Arie mundur ini diinisiasi oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) melalui petisi di change.org. Petisi yang dibuat pada 26 Juni 2024 tersebut telah ditandatangani oleh 8.891 orang.

Direktur Eksekutif Safenet, Nenden Sekar Arum, menegaskan bahwa ada pihak yang harus bertanggung jawab atas serangan siber ini, dan sebagai Menkominfo, Budi Arie dinilai bertanggung jawab atas keamanan PDNS.

Menanggapi desakan tersebut, Budi Arie meminta publik untuk bersabar dan menegaskan bahwa hak masyarakat untuk bersuara harus dihormati.

“Ya tunggu saja lah,” ujar Budi Arie, seraya menambahkan, “No comment kalau itu, itu hak masyarakat untuk bersuara.”

Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyerahkan keputusan terkait posisi Budi Arie kepada Presiden Joko Widodo.

“Urusan ganti mengganti itu urusan presiden. Mengenai ganti Menteri itu hak prerogatif presiden,” kata Ma’ruf Amin di Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Jumat, 28 Juni 2024.

Dalam rapat kerja Komisi I DPR RI, sejumlah anggota DPR mengkritik keras BSSN dan Kominfo atas insiden peretasan ini. Anggota Komisi I DPR Fraksi PKS, Sukamta, bahkan menyindir BSSN seperti mendiang peramal Mama Lauren yang hanya bisa memprediksi kejadian tanpa tindakan preventif.

Sukamta juga menegur Budi Arie karena mengucapkan “alhamdulillah” dalam situasi yang dianggap krisis nasional, menegaskan bahwa seharusnya ia mengucapkan “innalillahi.”

Menkominfo Budi Arie menjamin bahwa pemerintah akan segera mengatasi masalah yang timbul akibat peretasan ini. Ia juga menegaskan tidak ada kebocoran data dari insiden tersebut.

“Sampai sekarang belum teridentifikasi ada bukti, enggak ada pembocoran ya,” imbuhnya.

Sementara itu, Dr. Rahmat Dwi Putranto, pakar hukum teknologi dari IBLAM School of Law, mengutuk keras aksi peretasan ini dan mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas penyebab serangan serta memulihkan data yang terenskripsi. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat sistem keamanan siber di Indonesia.

Dalam rapat yang sama, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengungkapkan bahwa serangan ransomware terhadap PDNS berdampak pada 210 instansi pusat dan daerah di Indonesia. Peretas meminta tebusan sebesar 8 juta dolar AS atau setara Rp 131 miliar agar data yang terenkripsi dapat dibuka kembali.

Ketua Komisi DPR RI, Meutya Hafid, menekankan pentingnya memperbaiki keamanan siber dan meminta pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam komunikasi publik terkait insiden ini.