Mahasiswa UWIKA Lestarikan Budaya Barongsai Melalui Program Pengabdian Masyarakat

SURABAYA | Barongsai, tarian singa yang penuh semangat dengan busana warna-warni dan iringan musik yang meriah, diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-17, seiring dengan migrasi besar-besaran warga Tiongkok Selatan ke Indonesia. Namun, banyak generasi muda, terutama Milenial dan Gen-Z, yang tidak banyak mengetahui sejarah dan nilai-nilai tradisi Barongsai ini.

Universitas Widya Kartika (UWIKA) melalui program pengabdian masyarakat dari perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan, yang dibimbing oleh Dr. F. Priyo Suprobo, mengajak para mahasiswanya untuk mengenal dan melestarikan budaya ini.

Para mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin, yakni Edward Valentino, Hutomo Setiadi, dan Kent Nelson, diajak bersahabat dengan masyarakat langsung melalui Komunitas Ksatria Lion & Dragon Dance di Jalan Gading Pantai 1 No. 31, Dukuh Sutorejo, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya.

Program ini bertujuan untuk mendekatkan mahasiswa dengan budaya yang penuh keberagaman di Indonesia dan melestarikannya. Edward dan kawan-kawan menjalani masa bersama dengan Komunitas Ksatria Lion & Dragon Dance selama kurang lebih dua bulan. Mereka melihat, mendengar, berdialog, dan turut andil dalam aktivitas harian komunitas tersebut.

Mahasiswa menemukan bahwa Barongsai saat ini telah mengalami modernisasi dalam bentuk dan warna. Terdapat aliran dari utara yang disebut ‘Beijingsai’ dengan fokus pada akrobatik pertunjukan, dan aliran dari selatan yang dibagi menjadi ‘Hoksan’ dan ‘Fatsan’ dengan karakteristik masing-masing

Barongsai pernah mengalami pasang surut, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru ketika pertunjukan Barongsai sempat dilarang keras. Namun, pasca Orde Baru, Barongsai menjadi salah satu contoh akulturasi budaya antara Tionghoa dan Indonesia. Pada tahun 2010, Barongsai resmi ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.

Gerakan Barongsai memiliki simbolisme yang mendalam. Loncatan tinggi melambangkan keberuntungan dan kemakmuran, sedangkan menunduk melambangkan kerendahan hati. Topeng singa warna-warni, tetabuhan musik yang keras, dan kantong merah (ang pao) dipercaya dapat mengusir roh jahat dan membawa keberkahan.

Melalui program ini, mahasiswa belajar bahwa keberagaman dapat berakulturasi dan menjadi identitas bangsa. Mereka diharapkan dapat melestarikan budaya Barongsai dan menjadikannya sarana mempererat persaudaraan serta menciptakan daya tarik wisata. Keberlanjutan Indonesia ada di tangan generasi penerus yang mampu menghidupi keberagaman sebagai jalan menuju persatuan.

 

(nugi)