“Crossroads” di ICAS ke-13 Tampilkan Perjumpaan Budaya dan Sejarah

Teks Foto : Suasana pameran “Crossroads” yang digelar di De Javasche Bank, Surabaya. Foto : Nugi/Indonesiakini.id

SURABAYA | Pameran bertema “Crossroads” atau persimpangan/pertemuan berbagai budaya yang menggabungkan konferensi dan festival, juga menyajikan berbagai pameran yang dapat dikunjungi oleh masyarakat. resmi dibuka di De Javasche Bank, Surabaya. Selasa (29/7/2024)

Pameran tersebut adalah rangkaian dari gelaran International Conference of Asian Scholar (ICAS) ke-13 mendapat sambutan baik dari berbagai pihak.

Dihadiri oleh Erwindo Kolopaking, Advisor Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur; Satriagama Rakantaseta, perwakilan ICAS; Marrik Bellen, perwakilan exhibitor/artist; serta Duta Besar Belanda untuk Indonesia H.E. Amb. Lambert Grijns.

Erwindo berharap masyarakat dapat memperoleh banyak pandangan baru melalui berbagai kegiatan yang telah disiapkan oleh ICAS.

“Terima kasih saya ucapkan kepada ICAS dan kolega lainnya sehingga mampu mewujudkan acara ini. Selamat berdiskusi dan semoga mendapatkan pandangan kultural yang dijanjikan acara ini,” ucap Erwindo.

Teks foto : (ki-ka), Satriagama Rakantaseta, Erwindo Kolopaking, H.E. Amb. Lambert Grijns, dan Marrik Bellen dalam opening speech di De Javasche Bank, Surabaya. (Nugi/Indonesiakini.id)

Sementara itu, Lambert mengucapkan terima kasih kepada De Javasche Bank yang telah bersedia menerima dan menyambut hangat seluruh peserta ICAS.

“Peserta ICAS tentu berasal dari beragam latar belakang, bidang, dan ketertarikan, sangat merefleksikan pameran ini. Crossroads, di mana orang-orang bertemu di satu titik dari berbagai macam latar belakang yang berbeda,” ungkap Lambert.

Terdapat tiga karya yang dipamerkan di De Javasche Bank. Pertama, menampilkan dan menjelaskan tokoh yang ahli tentang Islam, Christiaan Snouck Hurgronje, serta perannya dalam menyebarkan pengetahuan tentang studi Islam, khususnya di Belanda pada masa Hindia-Belanda.

“Dia (Snouck) merupakan sosok yang dikagumi sekaligus dibenci. Ia berhasil meyakinkan pemerintahan Hindia-Belanda untuk mengizinkan masyarakat pribumi membuat kantor agama. Tapi ia juga dibenci karena dianggap sebagai mata-mata pemerintah Hindia-Belanda,” jelas Marrik.

Karya kedua dalam pameran ini adalah hasil studi tentang koneksi maritim di awal masa Asia Tenggara. Sementara karya ketiga berbicara tentang rempah-rempah dari gunung hingga daerah laut, yang mengungkap ironi alih fungsi lahan perkebunan rempah-rempah menjadi lahan pertambangan di Halmahera, Maluku Utara.

 

(nugi)