Forensik Digital : Kunci Penanganan Insiden Siber di Indonesia

JAKARTA | Saat membahas keamanan siber, perhatian biasanya tertuju pada upaya pencegahan dan penanganan sebelum insiden terjadi. Namun, langkah-langkah yang harus diambil setelah insiden juga sangat penting. Salah satu prosedur yang tidak boleh diabaikan adalah forensik digital.

Forensik digital merupakan prosedur penting yang wajib diterapkan oleh setiap organisasi setelah terjadinya insiden siber. Ini diibaratkan dengan memasang sistem alarm dan alat pemadam kebakaran serta memiliki rencana pemulihan setelah kebakaran.

Proses ini berperan krusial dalam mengidentifikasi penyebab di balik serangan serta menyediakan bukti kuat bagi penegak hukum. Selain itu, informasi yang diperoleh dari forensik digital membantu dalam memetakan profil penyerang dan mengidentifikasi kelemahan sistem, sehingga organisasi dapat lebih siap menghadapi serangan serupa di masa mendatang.

Salah satu hambatan utama dalam penerapan forensik digital di organisasi adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya langkah ini. Pakar forensik digital Muhammad Nur al-Azhar menyatakan bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga ahli dan sumber daya manusia dengan keahlian khusus di bidang ini.

Selain itu, tantangan ini juga disebabkan oleh peningkatan jumlah dan kompleksitas data yang terus berkembang akibat digitalisasi yang semakin luas.

Thomas Gregory, Director of Blue Team Operation PT Spentera, menyampaikan hal serupa, “Ketidakmampuan dalam mengidentifikasi penyebab serangan siber menunjukkan belum optimalnya implementasi forensik digital di Indonesia. Hal ini menyoroti kebutuhan mendesak akan peningkatan keahlian dan sumber daya di bidang forensik digital untuk memperkuat keamanan siber di tanah air.”

Ia pun menjelaskan beberapa praktik terbaik (best practices) untuk mengimplementasikan forensik digital bagi organisasi:

1. Identification : Melibatkan pencarian, pengenalan, dan dokumentasi bukti yang relevan. Prioritas pengumpulan bukti didasarkan pada nilai dan volatilitas bukti tersebut.

2. Collection : Perangkat digital yang berpotensi mengandung data berharga dikumpulkan dan diangkut ke laboratorium forensik. Akuisisi langsung diperlukan untuk sistem yang tidak dapat dimatikan, seperti sistem kontrol industri.

3. Acquisition : Bukti digital harus diperoleh tanpa kompromi terhadap integritasnya. Ini melibatkan pembuatan salinan yang tepat menggunakan write blocker untuk mencegah perubahan data. Akurasi salinan diverifikasi menggunakan nilai hash.

4. Preservation : Integritas perangkat digital dan bukti dipertahankan melalui rantai kepemilikan, memastikan dokumentasi yang teliti pada setiap tahap agar dapat diterima di pengadilan.

“Dalam menghadapi insiden siber, pemahaman dan analisis mendalam merupakan kunci utama. Dengan keahlian di bidang keamanan siber dan forensik digital, Spentera siap memberikan dukungan kepada organisasi di Indonesia untuk menangani insiden keamanan siber melalui solusi forensik digital yang komprehensif,” tutup Thomas.

 

(nugi)