Trump Tarik AS dari WHO, Pakar: Dampaknya Lebih Besar pada Bantuan Luar Negeri

SURABAYA – Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47, Donald Trump, secara resmi menarik keanggotaan AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setelah dilantik pada Senin (20/1/2025). Keputusan ini diambil melalui perintah eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan kongres. Langkah ini mengulang kebijakan serupa yang diambil Trump pada periode pertamanya pada 2020, sebelum kemudian dibatalkan oleh Presiden Joe Biden.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (UNAIR), Agastya Wardhana, menjelaskan bahwa keputusan Trump ini terutama berkaitan dengan pendanaan. “AS adalah founding member WHO, jadi keputusan keluar ini lebih ke soal funding. Trump melihat bahwa AS terlalu banyak mengeluarkan dana, sementara negara lain seperti Cina berkontribusi lebih sedikit,” ujar Agastya, yang akrab disapa Agas.

Trump menilai sistem pendanaan WHO tidak adil karena AS menyumbang jauh lebih besar dibandingkan negara lain. “Trump menganggap bantuan luar negeri sebagai pemborosan, termasuk dana yang diberikan AS ke WHO,” jelas Agas.

Selain itu, kebijakan ini sejalan dengan gaya kepemimpinan Trump yang lebih fokus pada agenda domestik dan cenderung menutup diri. “Ini kembali ke karakter kebijakan luar negeri Trump, yang lebih protektif dan kurang berorientasi pada kerja sama global,” tambahnya.

Keputusan AS keluar dari WHO berpotensi mengubah dinamika politik global. “Ini menciptakan ruang kosong yang bisa dimanfaatkan oleh negara lain, seperti Cina, untuk mengambil peran lebih besar di WHO,” kata Agas.

Namun, menurutnya, sistem kesehatan global tetap bisa berjalan meski tanpa AS. “Saat pandemi COVID-19, keluarnya AS dari WHO hanya berdampak pada aspek teknis, tetapi tidak mengguncang sistem kesehatan global secara keseluruhan,” ujarnya.

Dampak terbesar dari kebijakan Trump justru dirasakan dalam sektor bantuan luar negeri. AS selama ini menjadi pendonor utama melalui USAID dan lembaga lainnya. Dengan pemutusan bantuan ini, negara-negara yang bergantung pada dukungan AS harus mencari alternatif pendanaan sendiri.

“Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, relatif tidak terlalu terdampak karena sudah terbiasa menghadapi dinamika kekuatan besar sejak era Perang Dingin. Namun, negara-negara aliansi AS yang selama ini bergantung pada bantuan Washington harus beradaptasi dengan situasi baru,” pungkas Agas.

Keputusan Trump ini menjadi simbol perubahan besar dalam kebijakan luar negeri AS, yang semakin transaksional dan berorientasi pada kepentingan domestik.