Unusa Raih Klaster Tertinggi, Siap Kembangkan Riset Mandiri

SURABAYA – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) resmi masuk dalam Klaster Mandiri dalam bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Penetapan ini berdasarkan Keputusan No. 1114/E5/PG.02.00/2024 yang diterima pada akhir tahun 2024.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unusa, Achmad Syafiuddin, S.Si., M.Phil., Ph.D., menyampaikan bahwa pencapaian ini memberikan keleluasaan bagi Unusa untuk mengelola proses review usulan penelitian secara mandiri, mulai dari menentukan reviewer hingga proses evaluasi, tentu tetap mengikuti syarat dan kebijakan yang berlaku.

“Keuntungan menjadi klaster mandiri adalah Unusa bisa melakukan review sendiri dengan reviewer internal. Alhamdulillah, saat ini kami sudah memiliki tujuh dosen yang memenuhi kualifikasi sebagai reviewer,” ungkap Syafiuddin saat menghadiri Pelatihan Reviewer Kemendiktisaintek di Auditorium Mini Kampus C, Selasa (15/4).

Ia juga menambahkan, tim peneliti Unusa terus mengembangkan roadmap riset dan memetakan luaran penelitian agar bisa diimplementasikan secara nyata di masyarakat dan dunia industri.

“Di Unusa, kami telah membentuk berbagai pusat riset seperti CEHP dan TB Center, serta membangun kelompok-kelompok riset kolaboratif, baik antar dosen di Unusa maupun dengan dosen dari perguruan tinggi lain, baik dalam maupun luar negeri,” tambahnya.

Syafiuddin menekankan pentingnya mempertahankan capaian ini dengan produktivitas dan kerja keras. “Yang terpenting adalah tidak terlena dengan pencapaian ini. Kita harus tetap bertahan dan terus berkontribusi melalui riset dan pengabdian.”

Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Hotniar Siringoringo, selaku narasumber dalam pelatihan tersebut, menjelaskan bahwa terdapat sejumlah indikator untuk mempertahankan status Klaster Mandiri, seperti kualitas dan kuantitas penelitian dosen, publikasi ilmiah, jabatan fungsional dosen, serta akreditasi program studi dan institusi.

“Klaster mandiri memiliki akses anggaran penelitian dan pengabdian yang lebih besar dibanding klaster lainnya. Selain itu, kampus juga memiliki kewenangan menunjuk satu reviewer dari internal, sedangkan satu lagi akan ditetapkan oleh pusat, yakni Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kemendikbudristek,” terangnya.

Prof. Hotniar juga menekankan pentingnya objektivitas dalam proses review proposal penelitian. Penilaian yang tidak adil dapat mencoreng nama baik perguruan tinggi dan merugikan peneliti lain yang sebenarnya layak mendapatkan pendanaan.

Untuk menjadi reviewer, kata Hotniar, terdapat beberapa syarat penting yang harus dipenuhi, seperti minimal bergelar doktor, memiliki jabatan fungsional minimal Lektor, pengalaman sebagai ketua penelitian multi-tahun, memiliki publikasi di jurnal bereputasi internasional, serta telah mengikuti bimbingan teknis dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

“Dengan mengikuti bimtek dari Dikti, maka reviewer dipastikan memahami dan mengikuti standar yang telah ditetapkan,” pungkasnya.