PADANG LAWAS – Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Kehutanan (Satgas PKH) memanggil pihak PT Tondi Barumun Sejahtera (TBS) untuk dimintai keterangan terkait sengketa lahan yang diklaim berada di kawasan hutan dan bersinggungan dengan areal Kelompok Tani Hutan (Gapoktan) Bukit Mas seluas 300 hektar di wilayah Hutabaru Siundol. Pemeriksaan berlangsung di Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Medan, pada Jumat, 16 Mei 2025.
Dalam pemeriksaan itu, Satgas PKH menanyakan dasar hukum dan alasan PT TBS melakukan penanaman sawit di kawasan yang diduga masuk dalam hutan negara. Satgas juga menelusuri sejak kapan sawit ditanam, berapa luas lahan yang sudah ditanami, serta meminta dokumen dan peta kepemilikan.
Pemilik PT TBS, Bachri Abbas, menyatakan bahwa lahan tersebut berada di antara Desa Martona, Aek Haruaya, Siundol Dolok, Siundol Julu, dan Siundol Jae. Ia mengklaim bahwa lahan itu telah lama menjadi kawasan pemukiman dan lahan usaha masyarakat sejak sebelum kemerdekaan.
“Pada 1974 hingga 1977, pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan (sebelum pemekaran) mengembangkan kawasan itu sebagai Proyek Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Desa Siundol Jae. Lahan seluas lebih dari 300 hektar dibagikan kepada warga masing-masing 1 hektar per KK untuk ditanami karet. Setelah lebih dari 30 tahun, kebun karet masyarakat banyak yang mati, lalu masyarakat menawarkan lahannya kepada kami untuk dibeli,” ujar Bachri.
Menurutnya, pada 2009 pihak perusahaan mulai menanam sawit di area itu, dengan tahap awal seluas 185 hektar sebagai uji coba. Namun, serangan hama membuat sebagian besar tanaman gagal dan hanya tersisa sekitar 5 hektar pada 2010–2011. Penanaman ulang dilakukan pada 2012.
Pada tahun yang sama, PT TBS juga mengajukan izin pemanfaatan kawasan hutan untuk kebun sawit seluas 6.000 hektar melalui Pemerintah Kabupaten Padang Lawas, dan dilanjutkan ke Pemerintah Provinsi Sumut hingga Kementerian Kehutanan.
“Pembahasan izin sempat dilakukan di Bogor dan Jakarta oleh Ditjen Planologi. Karena tidak ada kejelasan hasil, kami kembali mengajukan izin ke Pemkab Palas pada 2016, tapi kewenangan kehutanan ternyata sudah bukan di tingkat kabupaten lagi,” katanya.
Bachri menambahkan, hingga kini PT TBS telah menanami sawit di lahan seluas 3.000 hektar, meski hanya sekitar 200 hektar yang berhasil tumbuh optimal. Pada 2018, pihaknya mengubah permohonan izin untuk pemanfaatan hutan menjadi penanaman pohon durian, mengikuti arahan Kementerian Kehutanan agar tidak lagi menanam sawit.
Namun, proses pengajuan izin kembali terhambat akibat pandemi COVID-19. “Kami baru bisa kembali berkonsultasi pada pertengahan 2023 dan diinformasikan bahwa ada kebijakan baru soal perkebunan sawit,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan bahwa Dinas Pertanian Padang Lawas sempat mengirim surat pemberitahuan kepada PT TBS terkait permohonan izin yang diajukan menjelang 2020. Surat itu kemudian ditindaklanjuti ke Kementerian Kehutanan pada Oktober 2023.
“Sejak saat itu kami rutin memantau setiap tiga bulan, namun jawabannya selalu, ‘sudah di Ditjen Gakkum, ditunggu saja akan dapat giliran pemeriksaan’,” ujar Bachri, mengutip pejabat Kementerian Kehutanan.
Menurutnya, sesuai regulasi terbaru, pemerintah akan memberikan izin dengan atau tanpa denda, tergantung hasil evaluasi. Namun, hingga awal 2025, belum ada pemeriksaan dari Ditjen Gakkum. Sebaliknya, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang penyelesaian sengketa kehutanan oleh Satgas Terpadu di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.
Lebih lanjut, PT TBS juga mengajukan keberatan ke Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) terkait status kawasan. Mereka mempertanyakan penetapan kawasan hutan di Kecamatan Sosopan yang hingga kini belum memiliki SK final. Beberapa SK Menteri Kehutanan hanya berupa penunjukan dan peta rencana.
“Kementerian Kehutanan seharusnya dapat memilah lahan privat dan publik secara adil sebelum menetapkan suatu kawasan menjadi hutan. Bila masih ada hak tanah masyarakat yang belum dikompensasi, peta kawasan hutan seharusnya tidak mencaplok wilayah tersebut,” kata Bachri.
Sementara itu, Abdul Halim Siregar, mewakili masyarakat Sosopan, menyatakan bahwa penetapan kawasan hutan tanpa menyelesaikan hak-hak masyarakat sama saja dengan mengalihkan hak privat menjadi hak publik tanpa kompensasi.
“Perubahan status itu harus disertai ganti rugi. Setelah kompensasi diberikan, barulah Kemenhut berhak menerbitkan SK Penetapan Kawasan Hutan. Itu sesuai Undang-Undang Kehutanan dan peraturan turunannya,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa kini tanaman sawit masyarakat dianggap ilegal, padahal masyarakat justru mempertanyakan keabsahan kewenangan Kementerian Kehutanan atas kawasan yang disengketakan.
Menanggapi hal itu, Imam Fauzi dari Satgas PKH menyampaikan bahwa pemeriksaan terhadap PT TBS masih merupakan tahapan awal.
“Setelah ini akan ada pemeriksaan lanjutan yang lebih teknis dengan melibatkan KPH. Tahap ini masih dalam rangka pengumpulan data dan informasi,” jelasnya. [L. Hasibuan]