KETAPANG – Dewan Pimpinan Daerah Advokasi Rakyat Nusantara (DPD ARUN) Kalimantan Barat mengecam keras insiden penembakan yang diduga dilakukan oleh oknum anggota TNI Angkatan Udara terhadap seorang warga sipil berinisial M.
Peristiwa itu terjadi pada 28 November 2024 di area Perkebunan PT Minamas, Desa Pelanjau Jaya, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang.
Ketua DPD ARUN Kalbar, Binsar Tua Ritonga, menyatakan bahwa tindakan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil di luar konteks konflik bersenjata merupakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang berat.
“Penembakan terhadap warga sipil oleh personel aktif TNI AU adalah bentuk penyalahgunaan wewenang militer. Ini mencederai rasa keadilan masyarakat sipil dan prinsip negara hukum,” ujar Binsar.
Ia menambahkan, tidak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan penggunaan senjata oleh aparat negara terhadap warga sipil di luar operasi resmi.
ARUN juga menyoroti klaim bahwa kasus ini telah diselesaikan secara damai. Mereka menilai pendekatan tersebut sebagai bentuk pemutihan sepihak yang berpotensi menghilangkan akses korban terhadap keadilan yang substansial.
“Kami menolak penyelesaian sepihak yang justru mengaburkan pelanggaran hukum. Siapa pun pelakunya, termasuk aparat militer, harus tunduk pada proses hukum pidana,” lanjut Binsar.
ARUN Kalbar Mengajukan Sejumlah Tuntutan:
1. Pemeriksaan dan proses hukum secara transparan terhadap oknum anggota Kopasgat pelaku penembakan, baik melalui peradilan militer maupun, bila perlu, peradilan umum.
2. Penarikan seluruh personel militer aktif dari wilayah perusahaan swasta, khususnya yang tidak memiliki mandat resmi dari pemerintah pusat.
3. Pemeriksaan terhadap peran PT Minamas dalam menghadirkan unsur militer di area perkebunan.
4. Intervensi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak korban dan keluarganya.
Binsar menegaskan bahwa keberadaan TNI di wilayah perkebunan swasta adalah bentuk penyimpangan dari mandat konstitusional TNI sebagai alat pertahanan negara.
“Negara ini dibentuk untuk melindungi rakyat, bukan korporasi. Jika militer digunakan untuk menjaga kepentingan modal dengan mengorbankan keselamatan warga, itu merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan hak asasi manusia,” katanya.
Sebagai lembaga advokasi, ARUN Kalbar menyatakan komitmennya untuk:
1. Mendampingi korban dan keluarganya dalam proses hukum.
2. Mengajukan laporan resmi kepada Panglima TNI, KASAU, dan Komnas HAM.
3. Mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan secara nyata.
4. Larangan Keterlibatan Militer Aktif dalam Keamanan Swasta.
“Mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 39 menegaskan bahwa Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis dan kegiatan untuk mencari keuntungan pribadi,” katanya.
Dengan demikian, keterlibatan prajurit aktif dalam pengamanan perusahaan, termasuk perkebunan sawit, bertentangan dengan hukum.
“Selain itu, prinsip netralitas TNI mengharuskan institusi tersebut tidak terlibat dalam urusan bisnis dan politik, kecuali dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang didasarkan pada permintaan resmi pemerintah atau keputusan presiden,” tandasnya.
(Sukardi)