Penulis : Ujang Supriyanto
Ketua Simpul Babel
BANGKA – Pernyataan sebagian oknum ASN yang menyebut bahwa royalti timah layak digunakan untuk membayar Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai keadilan sosial dan moral perjuangan daerah.
Royalti timah adalah hak kolektif rakyat Bangka Belitung. Ia bukan hasil keringat meja kantor, tapi buah dari perjuangan lingkungan yang rusak, paru-paru yang sesak, sungai yang keruh, dan masyarakat desa yang hidup dalam ketimpangan.
Ketika ASN dengan enteng mengatakan bahwa dana royalti bisa untuk menambah kesejahteraan birokrasi, itu sama saja dengan mengatakan: “Kami yang duduk manis lebih pantas menikmati hasil tambang, bukan kalian yang hidup di sekitar lubang.”
Di mana hati nurani para pejabat birokrasi yang semestinya menjadi pelayan rakyat? Di tengah minimnya akses air bersih, jalan desa yang rusak, pendidikan dan kesehatan yang terbengkalai, apakah pantas royalti disulap menjadi insentif pegawai?
Kalau benar royalti timah digunakan untuk TPP ASN, maka itu adalah preseden buruk bagi masa depan tata kelola sumber daya alam daerah ini. Masyarakat bisa saja menarik simpulan ekstrem bahwa : birokrasi daerah tak ubahnya benalu yang hidup di atas penderitaan rakyat.
Ingat, royalti bukan upah ASN. Royalti adalah “uang luka” untuk rakyat yang dipaksa hidup berdampingan dengan kerusakan ekologis dan ekonomi akibat tambang. Maka, setiap rupiahnya harus kembali ke rakyat, bukan ke kantong pejabat.
Jika masih ada ASN yang berpikiran seperti itu, mungkin lebih baik ia mundur dari jabatannya. Karena ia telah kehilangan esensi sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat.