Kirab Ritual 2024, Klenteng Hong San Koo Tee Cokroaminoto Rayakan 105 Tahun dengan Semangat Toleransi

SURABAYA | Klenteng Hong San Ko Tee, yang lebih dikenal sebagai Klenteng Cokro di Surabaya, kembali menggelar Kirab Ritual 2024 setelah terakhir kali diadakan sebelum pandemi Covid-19.

Kirab ini diadakan dalam rangka memperingati ulang tahun Klenteng Cokro yang ke-105 sekaligus merayakan Y.M. Kongco Kong Tik Tjoen Ong mencapai kesempurnaan.

Menurut Erdina Tedjaseputra, salah satu pengurus klenteng, ini adalah kirab pertama yang dilaksanakan sejak pandemi.

“Kirab ini adalah bentuk rasa syukur kami kepada para dewa yang telah mencapai kesempurnaan. Selain itu, tujuannya untuk membersihkan hawa negatif di sekitar klenteng,” jelas Erdina, (29/09/24) Minggu pagi.

Acara tersebut diikuti oleh ratusan umat yang turut dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan kesenian, seperti Barongsai, Liang-Liong, Reog Ponorogo, dan atraksi dari perguruan silat PSHT.

Kemeriahan acara ini juga menjadi simbol kerukunan antarumat beragama, seperti yang disampaikan oleh Erdina.

“Kegiatan ini berfungsi sebagai simbol kerukunan antar umat beragama. Kami berharap toleransi dan kerjasama dengan warga sekitar tetap terjaga dan semakin erat,” ungkapnya.

Suhu Gunawan, ahli spiritual Klenteng Cokro, menjelaskan bahwa kirab ini diselenggarakan untuk menghormati Y.M. Kongco Kong Tik Tjoen Ong, dewa utama di Klenteng Cokro.

“Setiap dua tahun sekali, Y.M. Kongco Kong Tik Tjoen Ong meminta untuk dikirab. Tahun ini, beliau ingin ditemani oleh Dewi Kwan Im, Dewa Tang Yuan Shio, dan Dewa Kwan Kong. Kirab ini menunjukkan kebesaran para dewa,” tutur Suhu Gunawan.

Prosesi kirab yang berlangsung dari pukul 07.00 hingga 09.30 WIB ini melibatkan pembawaan rupang dewa menggunakan tandu, yang dibopong oleh empat hingga delapan orang.

Rute kirab sepanjang 6 km ini melintasi Jl Pandegiling, Jl Imam Bonjol, Jl Kartini, Jl Ir Anwari, Jl WR Supratman, dan Jl Raya Darmo sebelum kembali ke klenteng.

Setiap kali rombongan kirab melintasi perempatan, tandu para dewa berhenti dan diputar ke arah kanan sebanyak tiga kali, sebuah ritual yang dipercaya dapat membuka jalan yang lebih baik di masa depan.

Seluruh prosesi berjalan aman dan tertib dengan antusiasme tinggi dari masyarakat yang hadir.

Setelah kirab selesai, para peserta dan tamu undangan dijamu dengan berbagai hidangan, seperti nasi goreng, mie goreng, bakso, soto ayam, dan berbagai makanan lainnya, menambah suasana kebersamaan dalam acara tersebut.

Kirab ini tidak hanya menjadi wujud penghormatan kepada para dewa, tetapi juga menjadi ajang kebersamaan dan simbol harmoni antarumat beragama di Kota Surabaya.