KETAPANG – Konflik lahan antara warga Desa Penjawaan, Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sandai Makmur Sawit (SMS) terus berlarut tanpa penyelesaian. Dugaan adanya mafia tanah yang mengambil keuntungan dari situasi ini semakin memperkeruh keadaan.
Persoalan ini kembali mencuat pada Rabu (5/3/2025) ketika seorang warga Dusun Kuala Laur, Anda Is, melalui anaknya, Heri, menegaskan bahwa lahan milik mereka tidak pernah dijual kepada PT SMS. Namun, pihak perusahaan sawit mengklaim bahwa lahan tersebut telah masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU).
Camat Sandai, Markus, mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi yang diterima, lahan tersebut telah terdaftar dalam Gugatan Registrasi Tanah Terpadu (GRTT) atas nama Bambang, yang juga menjadi pihak yang menjual tanah tersebut.
“Inilah masalah yang terjadi di lapangan. Kasihan masyarakat yang menjadi korban akibat ulah oknum-oknum ini. Kita harus mencari pelakunya agar jelas siapa yang bertanggung jawab,” ujar Markus.
Sementara itu, M. Sandi (40) menegaskan bahwa mafia tanah kerap bergerak di balik layar, memanfaatkan lambatnya birokrasi dan ketidakpastian hukum untuk menguasai lahan yang masih dalam proses penyelesaian.
“Kasus ini bukan sekadar sengketa agraria biasa. Ada permainan kotor yang melibatkan banyak pihak, mulai dari oknum masyarakat hingga korporasi, yang sengaja mengabaikan hak-hak warga,” ujarnya pada Minggu (9/3/2025) melalui pesan WhatsApp.
Menurut Sandi, klaim karyawan PT SMS bahwa lahan tersebut masuk dalam HGU tidak benar. “Itu hoaks. Faktanya, lahan itu berada di luar area HGU perusahaan,” tegasnya.
Senada dengan itu, Jhon, seorang tokoh pemuda Desa Penjawaan, menuntut pemerintah untuk bertindak tegas terhadap mafia tanah yang diduga terlibat dalam sengketa ini.
“Kami terus mendesak pemerintah agar berpihak kepada masyarakat kecil, bukan kepada mereka yang memiliki kuasa dan uang,” ujarnya.
Jhon juga menyoroti ketidakadilan yang dirasakan warga sejak kehadiran PT SMS di desa mereka. Konflik lahan yang berkepanjangan semakin memperparah ketegangan antara masyarakat dan perusahaan.
“Kami berharap pemerintah dan pihak terkait segera memberikan kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat Desa Penjawaan,” tegasnya.
Yayat Darmawi, Koordinator Tim Investigasi dan Analisis Korupsi, dalam pernyataannya melalui WhatsApp, menyoroti perlunya evaluasi terhadap izin HGU perusahaan sawit oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pusat.
“Masalah ini harus ditelaah lebih lanjut, apakah izin HGU perusahaan sudah sesuai dengan peta lokasi yang ditetapkan. Sebab, banyak kasus di mana izin HGU perusahaan justru merugikan masyarakat,” ungkap Yayat.
Ia juga mencontohkan kasus serupa di Desa Semangau, di mana klaim sepihak oleh perusahaan sawit menyebabkan warga tidak bisa menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) atas lahan pemukiman mereka.
“Sering kali perusahaan menggunakan izin HGU sebagai dasar untuk menguasai dan menyerobot tanah masyarakat, seolah-olah memiliki kewenangan absolut. Ini yang harus disikapi pemerintah sebagai representasi negara dalam mengelola tanah demi kepentingan rakyat,” tegasnya.
M. Sandi menambahkan bahwa dirinya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, TNI, Polri, serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk melakukan audit terhadap PT SMS sejak 2014 hingga saat ini, termasuk audit terhadap Pemerintah Daerah Ketapang.
(Sukardi)