WALHI Jabar Tantang Gubernur Jabar Tindak Tegas Swasta yang Langgar Aturan

BOGOR – WALHI Jawa Barat menantang Gubernur Jawa Barat untuk berani menindak pihak swasta yang melakukan alih fungsi lahan, pasca pembongkaran Hibiscus Fantasy Puncak. Untuk mencegah alih fungsi lahan, FK3I Pusat mendorong regulasi rekayasa ekosistem.

“Apresiasi setinggi-tingginya kepada Gubernur Jawa Barat atas keberaniannya membongkar Hibiscus Fantasy Puncak,” ucap Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat, Wahyudin, dalam dialog live pada acara Bincang Pagi RRI Bogor yang membahas alih fungsi lahan di wilayah Bogor, Rabu (12/3/2025).

Ia mengaku puas terhadap keberanian Gubernur Jawa Barat dalam menyelamatkan kawasan resapan air di Puncak Bogor. “Kita tentunya ingin punya pemimpin yang berani dan tegas, seperti Kang Dedi Mulyadi,” ujar Wahyudin.

Lebih lanjut, Wahyudin menekankan bahwa ketegasan Gubernur seharusnya tidak hanya berlaku bagi perusahaan milik pemerintah. “Jaswita itu milik pemerintah yang dibongkar Kang Dedi Mulyadi. Nah, sekarang Kang Dedi berani tidak menindak, memberi sanksi, bahkan memenjarakan perusahaan-perusahaan swasta yang melanggar aturan, lalu membongkar bangunannya juga?” tambahnya.

Sebagai contoh, ia menyoroti perusahaan swasta yang melanggar aturan dengan nilai investasi fantastis. Jika pemerintah menutup dan membongkarnya, apakah mereka juga siap menggantinya? “Kan belum tentu,” lanjut Wahyudin.

Wahyudin pun mengajak Gubernur Jawa Barat untuk bersikap tegas terhadap pihak swasta. “Nah, ini yang menjadi alasan saya mengajak Kang Dedi Mulyadi untuk tidak takut. Ayo, kita bersama-sama menegakkan dan mengungkap kebenaran. Artinya, keberanian itu tidak hanya terhadap lembaga milik negara, tapi juga kepada pengusaha, perusahaan, atau investor,” serunya.

Menurutnya, dalam penegakan hukum tidak boleh ada tebang pilih. “Mau itu milik TNI, Polri, atau bahkan presiden, kalau melanggar aturan, ya harus ditindak. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur dengan jelas sanksi bagi pelanggaran, baik yang disengaja maupun tidak. Tidak hanya sanksi administratif atau teguran, tapi juga pidana,” tegasnya.

Ia menambahkan, aturan tersebut juga tercantum dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Jika RTRW atau Perda RTRW yang dibuat oleh Bupati Bogor telah menetapkan Puncak sebagai kawasan lindung dan resapan air, maka seharusnya tidak ada izin yang dikeluarkan untuk pembangunan di kawasan tersebut.

Pada sesi berikutnya di Bincang Pagi RRI Bogor, Ketua Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Pusat, Dedi Kurniawan, menyinggung praktik ecowisata dan agrowisata yang sering kali hanya berorientasi pada keuntungan tanpa memperhatikan kelestarian hutan dan ekosistem.

“Seperti di Kawasan Puncak Bogor, salah satunya di Kawasan Gunung Pancar. Hak Guna Usaha (HGU) dikontrakkan atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Itu yang dilakukan PTPN dan Perhutani, tetapi yang terjadi adalah alih fungsi lahan yang masif,” ungkap Dedi Kurniawan, yang juga merupakan Dewan WALHI Jabar.

Ia menjelaskan bahwa FK3I saat ini tengah mendorong kajian pemulihan ekosistem dalam bentuk rekayasa ekosistem. “Sebelum membangun, harus ada rekayasa ekosistem. BPBD harus dilibatkan. Selama ini, apakah BPBD pernah dilibatkan dalam proses perizinan? Kan tidak pernah. Padahal, mereka seharusnya punya peta rawan longsor dan sebagainya,” tutupnya.

Untuk diketahui, Ade Hasrat, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bogor, yang diundang secara resmi dalam dialog live Bincang Pagi RRI Bogor, ternyata tidak hadir dengan alasan sibuk. Bahkan, tidak ada satu pun perwakilan dari BPBD Kabupaten Bogor yang datang. (Zefferi)