APH Diminta Tindak Tegas Aktivitas PETI di Keruing Desa Pematang Gedung dan KM 21 Desa Sungai Besar

KETAPANG – Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Aparat Penegak Hukum (APH) bersama instansi terkait dari pemerintah diminta untuk tidak tutup mata dan dapat secara tegas menindak aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Keberadaan aktivitas PETI tersebut terpantau di wilayah Keruing, Desa Pematang Gadung dan KM 21, Desa Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang.

Aktivitas tersebut menggunakan alat berat seperti ekskavator tanpa mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan sekitar, sehingga berpotensi besar mendatangkan bencana alam serta menimbulkan masalah sosial bagi masyarakat.

Selain itu, diduga kuat aktivitas tambang PETI di dua wilayah tersebut marak menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar.

Diduga pula terdapat keterlibatan “mafia migas” yang menyuplai BBM subsidi jenis solar ke wilayah aktivitas PETI tersebut.

Salah satu media online bahkan sempat memuat pemberitaan yang menyebut nama Acong, seorang pengusaha warga Ketapang, yang diduga terlibat di lokasi PETI tersebut. Namun, mirisnya, berita tersebut kini tidak lagi dapat diakses dan muncul halaman 404.

Desakan agar KPH dan APH bersama Tim Satgas PKH Kalimantan Barat bertindak tegas terhadap pelaku PETI datang dari Beni Hardian, warga Ketapang yang peduli menyuarakan masalah PETI di wilayah tersebut.

“Saya meminta agar para pelaku tambang ilegal dikenakan sanksi tegas sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jelas, pada Pasal 158 disebutkan bahwa pelaku penambangan tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar,” tegasnya, Jumat (18/4/2025).

Ia juga menambahkan bahwa aktivitas pertambangan ilegal tidak mengedepankan prinsip penambangan yang baik dan benar.

“Praktik tambang ilegal dapat merugikan negara, merusak ekosistem lingkungan, mengurangi kualitas udara, dan memengaruhi sumber air yang digunakan masyarakat. Jadi, perlu adanya tindakan tegas dari pihak-pihak terkait,” imbuhnya.

“Aktivitas PETI di dua wilayah Kecamatan Matan Hilir Selatan (MHS) sudah jelas melanggar hukum. Kami berharap adanya tindakan tegas terhadap Acong selaku pemodal dan/atau pengusaha di dua wilayah aktivitas PETI tersebut,” pungkas Beni Hardian.

Sementara itu, Diki, warga Kalimantan Barat, dalam pernyataan terpisah menilai bahwa penegakan hukum terhadap perusakan hutan dan lingkungan masih tebang pilih oleh APH maupun instansi terkait, termasuk GAKKUM KLHK Provinsi Kalbar.

“Selama ini penegakan hukum berlaku keras bagi pelaku illegal logging, mereka dikejar-kejar oleh APH dan GAKKUM. Namun, perambahan kawasan hutan lindung yang dijadikan perkebunan sawit serta PETI justru dibiarkan. Para pengusahanya bisa tidur pulas tanpa tersentuh hukum,” tegas Diki saat dihubungi lewat pesan WhatsApp.

Yayat Darmawi, Koordinator Lembaga Tim Investigasi dan Analisis Korupsi, dalam pernyataan yuridisnya menyampaikan bahwa persoalan PETI merupakan kejahatan yang sangat kompleks.

“Permasalahan PETI bukan hanya bicara tentang perbuatan ilegal terhadap lingkungan dan Minerba, tetapi juga adanya penyaluran solar subsidi ke para penambang emas tanpa izin yang perlu mendapat atensi dari APH,” ujarnya.

Ia menambahkan, lemahnya penegakan supremasi hukum terhadap kejahatan illegal logging, lingkungan, dan Minerba menjadi tolok ukur apakah APH benar-benar mengutamakan kepentingan negara atau justru kepentingan personal.

“Aktivitas kejahatan PETI yang berkaitan erat dengan kejahatan lainnya menjadi pemicu terbentuknya jaringan kejahatan yang saling mendukung satu sama lain alias kejahatan lingkaran setan yang sudah menggurita. Maka, pertanyaannya, apakah APH di Kalimantan Barat berani bertindak tegas? Apakah mereka masih berpihak kepada rakyat dan kepentingan negara?” pungkas Yayat.

(Sukardi)