KUPANG – Masyarakat Adat Pulau Kera menolak pembangunan 20 unit vila oleh PT Pitoby Grup dan meminta perusahaan menghentikan seluruh aktivitas pembangunan di wilayah mereka.
Pernyataan ini disampaikan oleh perwakilan masyarakat adat, Abdullah Sapar-Dethan, didampingi Arsyad Abdul Latif, Muhamad Syukur, Hamdan Saba, dan Derman Sindrang dalam konferensi pers di Resto Celebes, Senin (5/5/2025).
Hamdan Saba, yang juga menjabat Ketua RW 13, menegaskan bahwa warga Pulau Kera menolak dengan tegas segala bentuk relokasi. Mereka menganggap Pulau Kera sebagai tanah leluhur yang tidak bisa dipindahkan begitu saja.
“Hentikan segala intimidasi, relokasi, dan aktivitas pembangunan oleh PT Pitoby Grup di atas tanah leluhur kami yang dilakukan tanpa musyawarah, diskusi, atau dialog dengan masyarakat adat,” kata Hamdan.
Ia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pembangunan vila oleh PT Pitoby Grup yang bekerja sama dengan PT Kuatra dari Jakarta, yang bahkan mendatangkan tukang dari luar daerah tepatnya dari Jawa Barat untuk mengerjakan proyek tersebut pada akhir April lalu.
“Kami merasa dihina dan dilukai. Pulau Kera telah dihuni leluhur kami sejak tahun 1884. Maka, hak kepemilikan tanah di Pulau Kera adalah milik kami,” tegasnya.
Menurut Hamdan, penguasaan lahan di Pulau Kera telah berlangsung secara turun-temurun melalui hibah, wasiat, dan pewarisan, serta mendapat restu dari Raja Nisnoni, Raja Kupang pada masanya.
“Kami bukan orang asing. Kami warga negara Indonesia, tercatat sebagai penduduk sah NTT, dan memiliki hak pilih pada setiap pemilu,” tambah Hamdan.
Untuk menjaga agar situasi di Pulau Kera tetap aman dan kondusif, Hamdan mengimbau semua pihak menghindari potensi konflik sosial dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Kami menolak segala bentuk intimidasi sampai masalah ini diselesaikan secara adil. Kami mendesak agar seluruh aktivitas PT Pitoby Grup dihentikan segera di atas tanah leluhur kami,” tutupnya. (Dirham)