KETAPANG – Dugaan pelanggaran serius dalam proses seleksi calon kepala desa (Pilkades) di Kabupaten Ketapang kini resmi memasuki jalur hukum. Lima calon kepala desa melaporkan indikasi kuat terjadinya gratifikasi dan kebocoran soal ujian yang dinilai mencederai asas keadilan dalam seleksi.
Laporan tersebut disampaikan ke Polres Ketapang pada Selasa, 27 Mei 2025 oleh Lias Ahmadirawan, dan telah diterima secara resmi melalui Surat Tanda Terima Pengaduan Nomor: STTP/273/V/2025/Kalbar/Res Ketapang.
Dalam laporan itu disebutkan, sebelum pelaksanaan ujian Computer Assisted Test (CAT) yang diselenggarakan di Politeknik Negeri Ketapang, para pelapor memperoleh informasi bahwa sejumlah peserta diduga telah mengetahui isi soal lebih dahulu. Bukti awal berupa pengakuan kepemilikan kisi-kisi soal juga disertakan dalam laporan.
Bahkan, terdapat dugaan pemberian uang sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) kepada pihak tertentu yang diduga berkaitan dengan kebocoran tersebut.
Fransmini Ora Rudini, kuasa hukum kelima calon, menyatakan bahwa peristiwa ini sudah masuk ke dalam ranah hukum pidana, khususnya tindak pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kami menempuh jalur hukum bukan tanpa alasan. Laporan ini dibuat atas dasar informasi, keterangan, dan bukti yang telah kami kumpulkan. Dugaan gratifikasi berupa pemberian uang sebelum ujian adalah persoalan serius yang harus diusut,” tegas Fransmini.
Sementara itu, kuasa hukum lainnya, Rupinus Junaidi, menambahkan bahwa pihaknya juga menyoroti dugaan conflict of interest yang melibatkan panitia dan peserta seleksi.
“Ada hubungan ibu dan anak, serta saudara kandung di antara panitia dan peserta. Jika terdapat relasi kepentingan seperti itu, maka proses seleksi cacat sejak awal. Kami mendesak agar ini ditelusuri. Jika perlu, kami akan membawa hal ini ke lembaga pengawas lain,” ujarnya.
Kelima calon yang melapor sepakat bahwa perjuangan mereka bukan sekadar soal kalah atau menang, melainkan tentang menjaga integritas proses demokrasi desa agar tetap bersih dari manipulasi dan kecurangan.
Salah satu pelapor menyatakan, langkah hukum yang diambil bukan karena tidak menerima kekalahan atau hasil seleksi, tetapi sebagai bentuk komitmen menjaga agar proses pemilihan pemimpin desa berlangsung jujur, netral, dan bermartabat.
“Kami tidak mempermasalahkan lolos atau tidaknya dalam seleksi. Tapi kami ingin proses ini bersih. Kalau dari awal sudah tidak adil, bagaimana masyarakat bisa percaya pada hasil akhirnya?” ujarnya saat dimintai keterangan.
Mereka juga menyampaikan harapan besar kepada Polres Ketapang untuk menindaklanjuti laporan ini secara serius dan transparan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap integritas institusi hukum dan demokrasi.
“Kami percaya aparat penegak hukum akan bekerja secara profesional. Kami sangat berterima kasih kepada kepolisian karena telah menerima laporan ini. Dalam hal seperti ini, kami yakin Polri bersama rakyat. Ini bukan hanya soal kami berlima, tapi soal keadilan bagi seluruh masyarakat,” paparnya.
“Pilkades bukan sekadar formalitas. Ini menyangkut hak masyarakat untuk dipimpin oleh sosok yang terpilih secara adil. Jika prosesnya tercemar, maka hasilnya pun tidak dapat dipercaya,” pungkas Fransmini.
Kini, publik menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum untuk mengusut dan mengungkap kebenaran di balik dugaan kecurangan ini. Harapan masyarakat, keadilan tidak berhenti di meja laporan.
(Sukardi)