Kopi Sumatera Selatan

PALEMBANG – Sumatera Selatan terbentur dilema realita. Jangankan untuk bersaing di pasar global sebagai eksportir kopi mancanegara yang demand-nya terus tumbuh kian kompetitif, bahkan di pasar dalam negeri pun identitas dan popularitas kopi Sumatera Selatan tidak masuk dalam top of mind para pelaku bisnis dan penikmat kopi. Hal ini juga yang akhirnya menyebabkan kesejahteraan petani kopi di Sumatera Selatan juga tak kunjung membaik.

Seolah menjadi anomali, apa yang sebenarnya terjadi dalam tata niaga industri perkopian di Sumatera Selatan? Seberapa sulit mendongkrak performa kopi yang produksinya selalu melimpah ini masuk di jajaran specialty? Sudah seberapa jauh para stakeholder menyadari situasi ini dan membuat banyak orang bertanya-tanya, dan bagaimana langkah konkret para pemangku kebijakan dalam pencarian solusi .

Tak berlebihan jika disebut momentum ini sebagai penanda tipping point industri kopi Indonesia untuk merangkai momentum kejayaannya. Tidak menutup kemungkinan, masa-masa akan datang, kopi Indonesia bisa menjadi market leader dunia. Lebih khusus bagi para petani kopi sebagai sarana untuk menaikkan tingkat

Dengan menyerap tenaga kerja petani hingga mendekati 200 ribu Kepala Keluarga pada 2022, bisa dikatakan komoditas kopi termasuk komoditas unggulan di Sumatera Selatan. Sejatinya industri ini mendapat perhatian yang lebih serius dari para stakeholder khususnya pemangku kebijakan di Provinsi Sumatera Selatan. Sebab peringkat satu di produksi ternyata tak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan petaninya. Ditambah lagi popularitasnya yang minim dalam branding kopi nasional.o

Banyak yang menduga, melimpahnya kopi Sumatera Selatan ditampung di Lampung kemudian di-rebranding, dijual, dan memberikan Pemasukan Asli Daerah bagi Lampung. Ada benarnya. Sebab sebagian besar pengepul kopi yang bermain di pasar Sumatera Selatan sebagian besar “melempar” ke Lampung. Namun, kenapa para petani akhirnya memilih Lampung dan tidak Sumatera Selatan sendiri ini menjadi tanya yang harus dijawab sehingga menjadi jalan keluar untuk kebaikan bersama.

Menjadi Minuman Utama

“Hari ini saya tepat empat puluh hari menjadi gubernur, saya ingin kopi kita dikenal dan disuka oleh masyarakat Indonesia, syukur internasional,” ujar Herman Deru di sela perbincangan dengan jurnalis yang meliput pembukaan Festival Kopi Rakyat 2018 pada November di Palembang. Saat itu, secara spesifik, Gubernur Sumsel yang baru dilantik kurang lebih 40 hari tersebut dengan menggebu bertekat meningkatkan brand dan mutu kopi di Sumsel.

Bahkan ia membuat kebijakan menjadikan kopi Sumsel menjadi minuman utama saat rapat, acara kantor, dan saat ada tamu. “Jangan tawarkan minuman kopi selain kopi Sumsel,” tandasnya di hadapan para wartawan. Entah apakah kebijakan itu masih berlaku dan memberi impact, kita tak pernah tahu.

Kemudian setelahnya timbul wacana gerakan stek satu juta batang kopi, wacana pembentukan akademi kopi, wacana pembangunan pabrik kopi, sampai wacana infrastruktur pelabuhan khusus untuk mendukung hilirisasi komoditas unggulan Sumsel seperti kopi. Namun apa dinyana, sampai akhir periode pertama menjabat dan diganti oleh PJ Gubernur baru pada Oktober 2023, industri kopi di Sumatera Selatan belum juga menunjukkan kemajuan yang signifikan.

Lima tahun wacana, tanpa aksi yang terukur, sistematis, dan memberi dampak. Wajar jika banyak pihak menilainya hanya lips service policy. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam tata kelola dan tata niaga industri kopi di Sumatera Selatan? Hipotesis dan dilanjutkan riset sederhana kami mengerucut pada dua penyebab industri kopi Sumatera Selatan cenderung mengalami stagnasi. Pertama, ada problem kultural yang dominan di tata kelola hulu kopi Sumsel. kedua, problem struktural di tata niaga hilir kopi Sumsel yang belum tertangani dengan baik.

Problematika Hulu: Kultural

Mendominasi probematika di hulu sebagian besar berkutat di problem kultural. Pertama, dari sisi jenis, produksi, dan peruntukan. Di Sumsel, jenis kopi yang dominan ditanam adalah kopi berjenis robusta hingga sampai 90%, dan peruntukannya untuk industri. Secara historikal, petani kopi di Sumatera Selatan rata-rata adalah generasi kedua dan ketiga. Artinya, dari sisi tanaman adalah warisan kebun dan pohon tua dengan mekanisme perawatan yang tidak membutuhkan perlakuan dan perawatan khusus. Sebab dianggap pohon kopi “sudah jadi” dan tinggal menunggu musim panen reguler satu kali setahun.

Selain itu, mekanisme pasarnya sudah terbentuk bertahun-tahun: panen – jemur – pengepul. Pengepul kemudian “melempar” komoditas ke industri. Skema ini kemudian melahirkan problematika turunan, seperti petik asalan, pengeringan asalan, dan juga mendapatkan hasil yang asalan: kualitas kopi dengan grade jelek mendominasi. Dengan demikian ada banyak tahapan perawatan yang dilewatkan dan kualitas tidak terlalu menjadi hal yang diperhatikan secara spesifik.

Kedua, psikologi petani. Pemikiran petani kopi di Sumsel sebetulnya praktis dan realistis saja. Tanaman kopi yang menjadi menjadi mata pencaharian utama, sehingga mereka harus segera menghasilkan “putaran uang” untuk menghidupi mereka selama kurun satu tahun itu. Yang penting buah sudah cukup matang, petik semua saja sehingga segera menghasilkan uang, dengan metode yang sudah turun menurun. Tak perlu repot juga untuk treatment petik merah, menjemur dengan metode yang merepotkan, dan lain-lain. Yang penting ada barang, ada pembeli, ada harga. Walau harga murah, tidak apa-apa. Konsekuensinya, harganya pun terjun bebas. Alih-alih membawa kesejahteraan, pola seperti ini dalam jangka menengah dan panjang akan membuat para petani kopi semakin nyungsep.

Ketiga, produktivitas kopi yang rendah. Di Sumsel sendiri rata-rata produktivitas kopi per hektar masih sekitar 0,9 ton, bahkan angka ini jauh di bawah produktivitas provinsi lain yang lahan kopinya jauh lebih sedikit seperti Riau (1,2 ton) dan Sumatera Utara (1,2 ton). Selain itu, diketahui perkebunan kopi di Sumatera Selatan tergolong banyak yang sudah tua di atas 10 tahun, bahkan ada yang sudah lebih dari 20 tahun, tentu semakin tua batang kopi, produktivitasnya akan semakin menurun. Perlu segera diremajakan dengan Teknik stek atau replanting. Namun kembali lagi, psikologi dan mindset petani tidak begitu.

Masalah di hulu ini sebagian besar terjadi karena minimnya informasi, kurangnya edukasi, dan ada semacam “pengabaian” dari para stakeholder yang mengerti bagaimana industri ini seharusnya dijalankan. Problem kultural, tentu menyelesaikannya harus dengan agenda dengan timeline yang jelas. Perlu ada semacam edukasi dan pengawalan masif dan sistematis kepada para petani terkait urgensi menggunakan metode terkini dan lebih modern sehingga menjaga kualitas dan cita rasa kopi semakin bagus, sehingga menambah value dan nilai tambah

Problematika Hilir: Struktural

Di hilirisasi komoditas juga tak kalah menantang problematikanya. Pertama, tata niaga dan mata rantai kopi yang belum jelas sehingga tidak memberikan jaminan keamanan dan kepastian bagi para petani. Beda dengan Provinsi Lampung, misalnya, yang sistem tata niaga industri kopinya sudah terbentuk, tersistemasi, dan terintegrasi lebih baik. Sehingga, sampai hari ini, sebagaian besar hasil produksi kopi di Sumatera Selatan, justru lebih banyak diolah dan dijual kembali oleh provinsi sebelah, alih-alih diolah di daerah sendiri.

Kedua, tidak ada sentra pengelolaan hasil kopi. Belum tersedianya infrastruktur pengolahan pasca panen. Sebagai produsen kopi terbesar di Indonesia, sudah selayaknya dibuat sentra pengelolaan khusus kopi guna menstandarisasi dan meningkatkan kualitas kopi dan menjadi salah satu inisiasi meminimalisir faktor-faktor yang mempengaruhi turunnya produksi serta ekspor kopi Indonesia. Sentra pengelolaan hasil kopi ini tentu mesti disponsori dan dimoderatori oleh pemerintah sehingga mekanisme berjalan fair, netral, dan masif.

Ketiga, dukungan Infrastruktur. Minimnya dukungan infrastruktur yang memobilisasi rantai distribusi komoditas dari lokasi pengolahan ke entitas pembeli seperti pelabuhan yang akhirnya menyebabkan daya tampung dan daya angkut yang sedikit dengan cost distribusi menjadi lebih mahal. Di Pelabuhan Boom Baru, misalnya, daya tampung pelabuhan hanya bisa menampung kapal bermuatan 8,000 ton. Pelabuhan Tanjung Api-Api pun tidak terlalu jauh berbeda. Sehingga ini yang menghambat ekspor kopi Sumsel dan mempertipis peluang Kopi Sumsel untuk dikenal dunia.