JAKARTA | Indonesia menjadi tuan rumah forum regional bertajuk “The Regional Peer Exchange on Advancing Anti-Corruption in Southeast Asia through Beneficial Ownership (BO) Transparency”. Acara ini merupakan kolaborasi antara United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) World Bank, Open Ownership (OO), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Cahyo R. Muzhar, menekankan pentingnya transparansi kepemilikan manfaat (BO) dalam memerangi korupsi, pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kejahatan keuangan lainnya, termasuk pemulihan aset. Sejak 2018, Ditjen AHU telah mengelola data BO dari seluruh jenis korporasi di Indonesia secara elektronik.
“Database BO kami dapat diakses oleh lembaga penegak hukum dan otoritas kompeten lainnya melalui integrasi data dan mekanisme berbagi data. Selain itu, data BO kami juga tersedia untuk publik, menjamin transparansi dan akuntabilitas,” jelas Cahyo pada 12 Agustus 2024.
Ia juga menyoroti peran penting Ditjen AHU dalam mengawasi pencatatan BO di Indonesia dan membangun kebijakan BO nasional. Upaya ini menghasilkan penetapan Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF) pada 2023. Hal ini disebabkan oleh kewajiban perusahaan di Indonesia untuk melaporkan pemilik manfaat akhirnya.
Cahyo menambahkan, Ditjen AHU telah menerapkan langkah-langkah verifikasi yang ketat untuk memastikan kredibilitas informasi pemilik manfaat. Proses ini mencakup kewajiban perusahaan untuk mengidentifikasi pemilik manfaatnya secara internal serta notaris untuk melakukan uji tuntas terhadap pengguna jasanya. Notaris memainkan peran penting sebagai penjaga pintu untuk memastikan akurasi dan keterkinian informasi BO.
“Notaris sebagai salah satu gatekeeper diberi tanggung jawab untuk menjalankan prinsip mengenali pengguna jasa atau Customer Due Diligence serta meningkatkan kewaspadaan agar korporasi yang akan didaftarkan tidak digunakan untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme,” ungkap Cahyo.
Untuk mendukung kepatuhan, Indonesia menerapkan sanksi tegas, termasuk daftar hitam publik bagi perusahaan yang tidak mematuhi, serta sanksi pemblokiran yang membatasi perubahan anggaran dasar, struktur, kepengurusan, dan kepemilikan perusahaan. Langkah-langkah ini bertujuan mencegah ketidakpatuhan dan mendorong transparansi di sektor korporasi.
“Dalam upaya menyelaraskan sistem BO dengan standar internasional, kami juga bekerja sama dengan Open Ownership dan UNODC untuk melakukan penilaian komprehensif. Meskipun terdapat beberapa isu kecil, sistem BO Indonesia diakui cukup kuat dalam hal struktur data dan mekanisme verifikasi,” tambahnya.
Cahyo menegaskan komitmennya untuk terus memperbaiki verifikasi BO, memperluas integrasi data, dan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat. Ia yakin forum yang saat ini digelar akan menjadi sarana berharga untuk berbagi wawasan, mendiskusikan tantangan, dan mengeksplorasi pendekatan inovatif dalam menerapkan transparansi BO serta memfasilitasi pemulihan aset.
“Atas nama Kemenkumham dan Ditjen AHU, saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada mitra kami di UNODC, StAR World Bank, dan Open Ownership atas dukungan dan kolaborasinya yang tiada henti,” tutup Cahyo R. Muzhar.
(nugi)