Penambangan Emas Ilegal di Ketapang: Ancaman Serius yang Mengabaikan Hukum dan Lingkungan

KETAPANG – Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, semakin memprihatinkan. Penambangan ilegal ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencoreng citra pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH), yang terkesan mengabaikan pelanggaran hukum yang nyata di depan mata.

Salah satu lokasi PETI yang paling mencolok terletak di kawasan Kilometer 21, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang. Aktivitas ilegal ini terus berkembang tanpa hambatan, dengan pemanfaatan alat berat jenis excavator untuk menggali emas secara brutal. Kerusakan ekologis akibat aktivitas ini semakin meluas, mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat sekitar.

Kerusakan yang Mengkhawatirkan

Saat awak media mengunjungi lokasi tambang ilegal tersebut, warga setempat memberikan informasi mengejutkan. Berdasarkan keterangan seorang warga berinisial P, alat berat yang digunakan di lokasi milik seorang oknum bernama Wilton. Selain itu, beberapa mesin dompeng yang beroperasi juga disewa oleh pelaku lain seperti Badi, Pendi, dan Sahadi, dengan total enam unit mesin dompeng yang beroperasi di lokasi tersebut.

Namun, ketika awak media mencoba mengonfirmasi langsung kepada para pelaku yang disebutkan, mereka sulit ditemukan, seolah sengaja menghindar dari perhatian. Bahkan, alat berat jenis excavator merek Sany milik Wilton masih terpantau aktif beroperasi, menunjukkan tidak adanya tindakan tegas dari APH maupun pemerintah daerah.

Pelanggaran Hukum yang Jelas

Secara hukum, aktivitas PETI telah melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 158 secara tegas menyebutkan bahwa pelaku penambangan tanpa izin diancam dengan pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Selain itu, Pasal 161 mengatur sanksi bagi siapa saja yang menampung, mengolah, atau menjual hasil tambang dari aktivitas ilegal.

Namun, penegakan hukum terhadap aktivitas ini terkesan tidak berjalan. Padahal, dampaknya sangat besar, tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengganggu kehidupan sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat.

Dampak Sosial dan Lingkungan

Aktivitas PETI menyebabkan berbagai dampak negatif, di antaranya:

  1. Kerusakan lingkungan yang parah, termasuk pencemaran sungai, kehancuran hutan, dan terganggunya produktivitas lahan.
  2. Ancaman kesehatan masyarakat akibat paparan bahan kimia berbahaya seperti merkuri.
  3. Munculnya konflik sosial, termasuk kekerasan yang melibatkan masyarakat dan pelaku tambang.
  4. Penurunan pendapatan negara melalui hilangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dengan adanya aktivitas PETI yang terus berkembang, kerusakan lingkungan semakin parah dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar. Untuk itu, diperlukan tindakan tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum guna menghentikan aktivitas ilegal ini dan memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi.

Lahan bekas PETI tidak dapat dimanfaatkan lagi karena ditinggalkan dalam kondisi rusak dan tercemar. Tanpa adanya fasilitas pengelolaan limbah yang memadai, genangan air asam tambang dapat mencemari sungai dan mengancam kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber air tersebut.

Desakan Tindakan Tegas dari Mabes Polri

Masyarakat dan pemerhati lingkungan mendesak Mabes Polri serta Polda Kalimantan Barat untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap pelaku PETI, termasuk oknum-oknum yang terlibat. Pembiaran terhadap aktivitas ilegal ini hanya akan memperparah kerusakan lingkungan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

Aparat penegak hukum harus segera menghentikan aktivitas PETI yang masih berlangsung di Kilometer 21 dan wilayah lainnya. Penegakan hukum yang tegas dan transparan menjadi langkah utama untuk memastikan keadilan serta perlindungan bagi masyarakat dan lingkungan yang semakin terancam.

Catatan untuk Pemerintah dan APH

PETI merupakan masalah serius yang tidak bisa dibiarkan. Langkah nyata, termasuk penghentian operasi ilegal, penegakan hukum terhadap para pelaku, dan rehabilitasi lingkungan, harus segera dilakukan sebelum kerusakan yang lebih parah terjadi.

(Sukardi – KalBar)