BANDUNG – Sejumlah pakar pengendalian tembakau dan komunikasi di Indonesia menyatakan keprihatinan serius terhadap narasi yang diusung dalam Asia-Pacific Conference on Smoking and Harm Reduction 2025 yang digelar di Bandung. Konferensi ini disponsori oleh Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR), sebuah organisasi asing yang diketahui menerima pendanaan dari industri rokok global, termasuk Philip Morris.
Forum tersebut menghadirkan berbagai pembicara yang dikenal mendukung pendekatan “harm reduction” dalam konsumsi produk tembakau dan nikotin, seperti rokok elektronik (vape) dan produk tembakau yang dipanaskan (HTP). Namun, pendekatan ini dinilai berisiko mengaburkan arah kebijakan pengendalian tembakau berbasis bukti ilmiah yang mengutamakan perlindungan kesehatan masyarakat.
Kiki Soewarso, aktivis pengendalian tembakau dari Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI dan pakar komunikasi dari LSPR Institute, menegaskan bahwa konsep “harm reduction” yang diangkat dalam konferensi ini merupakan strategi industri rokok untuk mempertahankan pasar produk adiktifnya.
“Bukti ilmiah independen menunjukkan bahwa rokok elektronik dan HTP tetap berisiko bagi kesehatan dan justru menarik anak-anak serta remaja untuk mulai menggunakan nikotin. Narasi bahwa vape lebih aman adalah ilusi yang dibangun industri untuk membuka kembali ruang-ruang yang sebelumnya bebas asap rokok,” ujar Kiki, (16/06/25) Senin.
Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si., Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, juga mengkritisi cara komunikasi dalam forum tersebut.
“Istilah seperti advancing innovation for smoking cessation sangat menyesatkan. Inovasi yang dibutuhkan adalah kebijakan untuk menghentikan kebiasaan merokok, bukan menggantinya dengan produk nikotin lain yang juga membuat kecanduan dan menimbulkan risiko kesehatan,” tegasnya.
Kekhawatiran serupa disampaikan Mouhamad Bigwanto, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), yang menyoroti keterlibatan peneliti dari lembaga negara seperti BRIN dalam forum yang dinilai mempromosikan agenda industri rokok.
“Lembaga riset negara seharusnya menjaga independensi dan komitmennya terhadap perlindungan kesehatan masyarakat. Kehadiran peneliti BRIN di forum yang didanai industri rokok dapat mencoreng kredibilitas lembaga tersebut di mata publik,” ungkap Bigwanto.
Ia juga menekankan bahwa narasi “harm reduction” sering digunakan untuk melemahkan upaya pengendalian tembakau melalui intervensi kebijakan.
“Indonesia harus waspada terhadap normalisasi produk nikotin baru lewat forum-forum ilmiah semu. Yang dibutuhkan adalah penguatan regulasi dan edukasi publik tentang bahaya seluruh produk tembakau, termasuk rokok elektronik,” tambahnya.
Senada, dr. Ahyani Raksanagara, M.Kes, Ketua Umum IAKMI Pengda Jawa Barat, menekankan pentingnya menjaga integritas kebijakan pengendalian tembakau, khususnya di tingkat daerah.
“Kami di Bandung dan Jawa Barat berkomitmen melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja, dari paparan semua produk tembakau dan nikotin. Narasi harm reduction yang diglorifikasi justru menghambat pencapaian target kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Para pakar ini mendesak pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk bersikap kritis terhadap narasi yang diusung industri rokok, termasuk yang dibungkus dalam kemasan akademis. Mereka juga menyerukan penguatan kebijakan pengendalian tembakau yang menyeluruh, termasuk pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship untuk produk-produk tembakau baru.






