BATAM – Setiap tanggal 21 Februari, Indonesia memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Kegiatan ini juga sekaligus memperingati peristiwa runtuhnya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Leuwigajah yang menelan tidak kurang dari 157 korban jiwa.
TPA Leuwigajah berada di Kota Bandung dan merupakan TPA regional yang menampung sampah dari tiga kota, yaitu Kota Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung. Luasnya 10 hektar dan dibangun pada tahun 1982/1983 sebagai bagian dari proyek BUDP (Bandung Urban Development Program).
Penumpukan sampah yang menggunung, curah hujan tinggi, dan ledakan gas metana dari dalam tumpukan sampah dianggap menjadi penyebab tragedi longsor TPA Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005. Tragedi ini yang mendorong Kementerian Lingkungan Hidup untuk menetapkan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) pada setiap tanggal 21 Februari.
Tragedi TPA Leuwigajah mendorong perhatian dan fokus pada pengelolaan sampah terintegrasi, karena dampak penumpukan sampah yang sangat signifikan terhadap lingkungan dan ekosistem kehidupan global, yaitu perubahan iklim.
Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Indonesia menetapkan tema HPSN 2025 berjudul Kolaborasi untuk Indonesia Bersih. Kementerian Lingkungan Hidup juga menetapkan delapan (Asta) aksi peduli sampah nasional, yaitu: Pantai, Gunung, Mangrove, Desa, Pesantren, Pasar, Sekolah, dan Kampus.
Terkait rencana aksi tersebut, Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah Sei Beduk, sebagai Unsur Pembantu Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sei Beduk, melalui Nurmantiaz sangat mendukung program terintegrasi pengelolaan sampah Kementerian Lingkungan Hidup tersebut.
“Namun ada catatan tambahan tentang pengelolaan organik yang harusnya mendapat perhatian lebih. Batam dan daerah lain saat ini berhadapan dengan bagaimana penanganan sampah organik dilakukan. Aksi bersih-bersih dan mengumpulkan sampah saja belum bisa menggambarkan proses penanganan sampah yang terintegrasi. Dalam hal inilah Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sei Beduk hadir,” kata Nurmantiaz.
“Yang kami lakukan bersama Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sei Beduk adalah melakukan pengelolaan sampah terintegrasi. Sampah organik ditangani dengan pemanfaatan sisa organik menjadi kompos dan ecoenzym. Yang bernilai ekonomis kami tangani dengan menjadikan nilai ekonomis tersebut sebagai pendukung pengelolaan organik, tidak lagi menjadi tabungan pribadi,” sambung Nurmantiaz.
Sebagai langkah awal, Nurmantiaz mengusung pilot project Kota Hijau Muhammadiyah yang memiliki tiga turunan program, yaitu Pusat Pilah Sampah Muhammadiyah (PPSM), Gotong Royong Fasilitas Publik (Go Fublik), dan Daerah Konservasi Air (DKA), yang direncanakan akan diluncurkan usai Idul Fitri 2025. “Bisa jadi lebih cepat,” tutup Nurmantiaz. (Phu Yeng)