Aktivitas Tambang Ilegal Perlu Solusi Komprehensif

KETAPANG – Pertambangan emas tanpa izin (PETI) atau tambang ilegal semakin tidak terkendali di berbagai daerah, termasuk di sejumlah wilayah Kabupaten Ketapang. Aktivitas ini menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

“Kerusakan yang ditimbulkan antara lain degradasi lingkungan, pencemaran tanah, air, dan udara. Selain itu, PETI juga menyebabkan gangguan terhadap masyarakat luas, seperti kerusakan bangunan rumah dan fasilitas umum. Dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), aktivitas ini juga mengganggu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat,” ujar Rustam Halim, pemerhati hukum dan kebijakan publik Ketapang, kepada awak media pada Minggu (9/3/2025).

Potensi keuntungan dari hasil tambang ilegal menarik perhatian para cukong dari luar daerah untuk membuka usaha pertambangan emas tanpa izin di berbagai lokasi. Rustam menjelaskan bahwa dalam perkembangannya, permasalahan PETI tidak hanya terbatas pada komoditas emas, tetapi juga mencakup pertambangan bahan galian lain, baik golongan A, B, maupun C.

Menurutnya, sumber daya alam tidak boleh dieksploitasi sembarangan karena akan mengganggu keseimbangan ekosistem dan ekologi.

“PETI menyebabkan kawasan hutan mengalami kerusakan dan secara tidak langsung berdampak terhadap lingkungan serta kehidupan masyarakat sekitar. Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya sumber daya hutan dan punahnya berbagai habitat di dalamnya,” jelasnya.

Munculnya PETI sulit dihindari karena bagi sebagian masyarakat, aktivitas ini menjadi salah satu akses terhadap sumber daya alam demi peningkatan taraf hidup. Namun, tanpa regulasi yang jelas dan pengelolaan yang berkelanjutan, dampak negatifnya jauh lebih besar.

“Pada akhirnya, PETI membawa dampak buruk bagi daerah itu sendiri,” katanya.

Regulasi mengenai lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Selain itu, instrumen penting terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga telah diterapkan melalui berbagai peraturan pemerintah, mulai dari PP Nomor 51 Tahun 1993 hingga PP Nomor 27 Tahun 2012 yang menegaskan pentingnya perizinan lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Dengan adanya regulasi tersebut, aspek lingkungan hidup kini menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber daya alam.

“Pembangunan tidak lagi menempatkan sumber daya alam sebagai modal semata, tetapi sebagai bagian dari ekosistem yang mencakup manusia, lingkungan alam, serta lingkungan buatan yang saling terkait dan bergantung dalam keteraturan yang spesifik,” kata Rustam.

Rustam menekankan perlunya alternatif solusi yang lebih komprehensif dalam menangani PETI. Selain melakukan penertiban terhadap para penambang, pemerintah juga harus mengupayakan program pemberdayaan bagi para pekerja PETI agar mereka memiliki sumber penghidupan yang lebih berkelanjutan.

“Yang terpenting, pemerintah harus bertindak tegas terhadap cukong-cukong yang membiayai PETI. Tanpa tindakan nyata terhadap mereka, masalah ini akan terus berlanjut,” tegasnya.

Selain itu, diperlukan pembinaan dari instansi terkait guna mengubah pola pikir masyarakat terhadap aktivitas PETI.

“Kebijakan perizinan pertambangan harus diperjelas dan diselaraskan dengan konsep pembangunan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan sebagai langkah preventif terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Rustam juga menyoroti pentingnya pemenuhan hak-hak warga negara terhadap lingkungan hidup yang bersih dan sehat, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf j UUPPLH.

“Prinsip ini harus ditegakkan agar masyarakat dapat menikmati lingkungan yang layak dan tidak terdampak buruk akibat aktivitas PETI,” pungkasnya.

(Sukardi)