JAKARTA | Di tengah meningkatnya perhatian terhadap kebijakan kemasan rokok standar atau polos di Indonesia, beredar berbagai informasi yang kurang akurat dan menimbulkan kekhawatiran pada beberapa pihak. Salah satu isu yang mencuat adalah anggapan bahwa kemasan polos dapat menyulitkan pengawasan cukai karena kurangnya informasi mengenai jenis dan jumlah batang rokok dalam kemasan. Namun, apakah kekhawatiran ini beralasan?
Diskusi yang digelar oleh Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) pada Selasa, 8 Oktober 2024, memberikan klarifikasi terhadap berbagai isu ini. Beberapa topik yang dibahas antara lain perbedaan istilah kemasan polos (plain packaging) dan kemasan standar (standardized packaging), ketentuan yang mengatur kemasan standar, serta tujuannya.
Diskusi juga menyinggung tantangan yang akan dihadapi serta putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menegaskan bahwa kebijakan ini sah secara hukum internasional. Selain itu, pengalaman negara lain seperti Australia yang telah berhasil menerapkan kebijakan ini juga dibahas. Hingga saat ini, tercatat ada 25 negara yang telah mengadopsi kebijakan kemasan rokok polos atau standar.
Ketua RUKKI, Mouhamad Bigwanto, menegaskan bahwa penerapan kebijakan kemasan rokok standar sama sekali tidak akan menyulitkan pengawasan cukai. Informasi penting seperti golongan dan jumlah batang rokok tetap akan tercantum pada kemasan, bersama dengan nama merek dan produk, meski tanpa logo atau citra merek. Bigwanto juga menegaskan bahwa kemasan rokok standar tidak berarti berwarna putih polos, dan seluruh informasi untuk keperluan pengawasan tetap tersedia.
“Kemasan standar bukan berarti semua menjadi polos atau putih. Di negara manapun yang menerapkan kebijakan ini, tidak ada kemasan yang sepenuhnya polos. Jadi, kebijakan ini tidak akan mengganggu pengawasan terhadap cukai atau regulasi produk tembakau,” jelas Bigwanto.
Ia juga menyoroti bahwa masih banyak kesalahan informasi yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak tertentu, terutama industri tembakau. Industri sering menyebarkan misinformasi bahwa kebijakan ini akan merugikan pedagang ritel dan meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Padahal, di berbagai negara yang telah menerapkan kebijakan ini, tidak ditemukan bukti adanya penurunan pendapatan ritel atau peningkatan peredaran rokok ilegal.
Bigwanto menambahkan bahwa kemasan rokok selama ini sering dijadikan alat promosi oleh industri tembakau. Oleh karena itu, RUKKI mendukung penuh rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan kemasan rokok standar sesuai amanat PP Kesehatan No. 28 Tahun 2024, yang bertujuan melindungi generasi muda dari bahaya tembakau.
Tubagus Haryo Karbyanto, Sekretaris Jenderal Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, turut menjelaskan perjuangan Australia dalam menghadapi gugatan di WTO dari industri rokok dan beberapa negara, termasuk Indonesia.
WTO memutuskan bahwa kebijakan Australia tidak melanggar hak kekayaan intelektual dan sah sesuai dengan tujuan kesehatan masyarakat. Keputusan ini membuka jalan bagi negara-negara lain untuk mengadopsi kebijakan serupa tanpa khawatir menghadapi tantangan hukum internasional.
Pengalaman Australia, yang berhasil menurunkan konsumsi tembakau di kalangan anak muda sejak menerapkan kebijakan ini, menjadi model bagi banyak negara. Di Indonesia, langkah tegas dalam mengimplementasikan kebijakan pengendalian tembakau yang efektif, termasuk standardisasi kemasan, diperlukan untuk melindungi generasi muda dari bahaya tembakau.