Polemik Putusan 10 Bulan Penjara Terdakwa di PN Tuban, Ketum KPORI: Ini Negara Hukum Bukan Kekuasaan

Ketua Umum KPORI, Margoyuwono (tengah) saat berada di Mabes Polri. (Foto: Asia Pujiono/Indonesiakini.id)

JAKARTA – Polemik muncul terkait dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Tuban yang menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara terhadap 12 terdakwa AR, JH, AS, SA, RN, MS, MR, EK, SHM, dan SNT dalam kasus pemerasan.

Kejadian ini bermula ketika 12 aktivis dari Kumpulan Organ Penghimpun Rakyat Indonesia (KPORI) mendatangi sebuah perusahaan tambang yang diduga ilegal. Mereka kemudian ditangkap oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tuban, Polda Jawa Timur, pada 7 Agustus 2024.

Setelah penyelidikan, para anggota KPORI ini ditetapkan sebagai tersangka, dan Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara pada Senin, 23 Desember, karena terbukti melanggar Pasal 368 KUHP tentang pemerasan terhadap pemilik tambang.

Bukti transfer yang diduga dikirim istri terdakwa  ke makelar kasus inisial STN. (Foto: Asia Pujiono/Indonesiakini.id)

Namun, kontroversi semakin memanas ketika terungkap bahwa di saat para terdakwa mendekam di penjara, seorang makelar kasus (Markus) berinisial STN menawarkan bantuan kepada istri-istri terdakwa untuk menyelesaikan persoalan hukum suami mereka.

Para istri terdakwa memberikan uang kepada Markus, dengan jumlah yang bervariasi, mulai dari Rp5 juta hingga Rp45 juta. Salah satu istri terdakwa, SNT, bahkan mengeluarkan uang sebesar Rp11,5 juta kepada Markus, dengan harapan hukuman suaminya bisa diperingan menjadi tiga bulan atau bahkan bebas.

“Saya sudah memberikan uang Rp11,5 juta, katanya hukumannya cuma tiga bulan, bahkan bisa bebas,” ujar istri SNT saat dihubungi via telepon beberapa minggu lalu.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum KPORI, Margoyuwono, merasa geram terhadap putusan tersebut. Ia juga menyesalkan kinerja Kejaksaan Negeri Tuban yang dinilai tidak teliti dalam menangani perkara ini. Margo menegaskan bahwa anggotanya tidak bersalah dan tidak seharusnya ditahan, apalagi divonis bersalah.

Bukti transfer yang diduga dikirim istri terdakwa ke makelar kasus inisial STN. (Foto: Asia Pujiono/Indonesiakini.id)

“Berkali-kali saya katakan bahwa anggota saya tidak bersalah. Mereka menjalankan tugas sesuai dengan tatanan kenegaraan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Ini akan menimbulkan banyak persoalan baru yang lebih kompleks dalam tatanan hukum,” kata Margo, Kamis 26 November 2024.

Ia juga menambahkan, seharusnya yang ditangkap adalah pemilik tambang, yang menurutnya berusaha menyuap anggota KPORI.

“Pemilik tambang yang bernama NSM (menyebut nama sebenarnya) harus segera ditangkap, agar tercipta keadilan di negara ini. Negara kita berlandaskan Undang-Undang, bukan negara kekuasaan atau kerajaan,” tegasnya.

Percakapan makelar kasus di grup WhatsApp. (Foto: Asia Pujiono/Indonesiakini.id)

Margo menyebutkan bahwa anggotanya dijebak dengan amplop putih yang berisi uang Rp25 juta. Begitu amplop itu ditemukan, mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Sementara itu, praktisi hukum Bambang Juliarto, SH menilai bahwa aparatur penegak hukum, penyidik Polri, dan Kejaksaan harus bertindak netral dalam menjalankan tugas mereka.

“Jika memang ada bukti yang jelas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, maka pemberi suap dan penerima suap harus sama-sama ditangkap,” kata Bambang.

Ia juga menambahkan bahwa istri-istri terdakwa yang memberikan uang kepada oknum makelar kasus (Markus) bisa mengambil langkah hukum dengan melaporkan kejadian tersebut kepada polisi.

“Oknum Markus juga bisa dijerat dengan Pasal 372 dan 378 KUHP,” imbuh Juliarto SH.

(Asia Pujiono/Aas)

BERITA TERKAIT: