JAKARTA – Sejumlah organisasi kesehatan dan pakar komunikasi menyampaikan keprihatinan atas meningkatnya upaya normalisasi penggunaan rokok elektronik di Indonesia melalui berbagai klaim menyesatkan yang tidak didukung bukti ilmiah independen.
Mereka memperingatkan bahwa narasi keliru ini berisiko meningkatkan penggunaan di kalangan anak-anak dan remaja, yang seharusnya dilindungi dari paparan zat adiktif.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si., menyoroti narasi yang dikampanyekan oleh sejumlah lembaga seperti Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR), Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), dan Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR).
Menurutnya, klaim bahwa rokok elektronik memiliki manfaat kesehatan sangat berbahaya karena tidak didasarkan pada bukti ilmiah dari berbagai sumber yang kredibel.
“Klaim seperti ini mengaburkan persepsi publik. Banyak bukti ilmiah independen yang justru menunjukkan bahwa rokok elektronik tetap membawa risiko serius terhadap kesehatan. Kesimpulan terburu-buru seperti ini bisa menyesatkan, terutama jika menyangkut kesehatan masyarakat,” ujar Prof. Eni dalam keterangan tertulis, (06/05/25) Selasa.
Dari perspektif medis, dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), M.Pd.Ked, dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), menegaskan bahwa rokok elektronik tetap mengandung bahaya.
Ia menyebutkan bahwa aerosol yang dihasilkan produk ini mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit paru seperti bronchiolitis obliterans (popcorn lung), penurunan fungsi paru, hingga gangguan kardiovaskular.
Selain itu, klaim bahwa rokok elektronik membantu perokok berhenti merokok juga dibantah. Menurut penelitian terbaru dari Johns Hopkins University pada April 2025, hanya 0,08% pengguna rokok elektronik yang berhasil berhenti sepenuhnya dari semua produk tembakau.
Sementara itu, mayoritas pengguna baru adalah anak muda, dengan 77,8% di antaranya sebelumnya belum pernah menggunakan produk tembakau.
“Bahaya rokok elektronik jauh lebih besar daripada manfaatnya, khususnya bagi generasi muda Indonesia,” tegas dr. Feni.
Senada dengan itu, Benget Saragih, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kementerian Kesehatan RI, menegaskan bahwa pihaknya tidak menganggap rokok elektronik maupun produk tembakau yang dipanaskan sebagai solusi untuk berhenti merokok atau strategi efektif menurunkan angka perokok.
“Fokus kami adalah pencegahan dan penghentian total terhadap semua produk tembakau, bukan menggantinya dengan produk lain yang tetap berisiko,” kata Benget.
Mohammad Ainul Maruf, Sekretaris Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), menambahkan bahwa industri rokok terus berusaha mempengaruhi opini publik dengan menggambarkan produk mereka sebagai lebih aman.
“Industri tembakau mencoba membentuk narasi palsu demi keuntungan. Kita harus waspada terhadap upaya manipulatif ini dan menjaga proses kebijakan tetap bersih dari intervensi korporasi,” tegas Maruf.
Sejalan dengan peringatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rokok elektronik diketahui mengandung nikotin, logam berat, dan zat karsinogenik, serta dapat menjadi pintu masuk bagi remaja untuk mulai merokok konvensional.
Organisasi kesehatan dan masyarakat sipil pun menyerukan agar pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam semua kebijakan terkait produk tembakau alternatif, dan tidak terjebak dalam narasi industri.
“Generasi Emas Indonesia 2045 hanya akan terwujud jika kita melindungi generasi muda dari ketergantungan nikotin dan zat adiktif lainnya,” pungkas Maruf.