SIKKA – Di antara kios-kios sempit di pasar tradisional Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) deretan bungkus rokok terpajang mencolok. Beberapa bermerek asing, sebagian lainnya tampak lokal, namun yang pasti sebagian besar tidak memiliki pita cukai resmi.
“Yang penting murah dan laku,” kata seorang pedagang, enggan disebutkan namanya. Ia menjual beberapa merek rokok yang belakangan diketahui beredar tanpa pita cukai, seperti King Bako, Sniper Seven, hingga Rastel. “Kami hanya terima dari orang yang antar. Kalau ditanya, mereka bilang aman.”
Fenomena ini bukan hal baru. Namun sejak pertengahan 2024, peredarannya semakin terbuka. Tak hanya di pasar dan kios kelontong, rokok-rokok ilegal ini juga dijajakan oleh pengendara sepeda motor keliling kampung dan desa.
Komisariat Sosial dan Hukum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sikka menyebut situasi ini sudah masuk kategori darurat pengawasan. “Ada kejahatan fiskal yang terang-terangan, tetapi nyaris tidak tersentuh hukum,” ujar Michelson Mo’a Popi, Sekretaris GMNI Sikka, dalam konferensi pers, Senin (12/5/2025).
Pelanggaran ini mengarah langsung pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Dalam pasal-pasalnya, setiap rokok yang diproduksi dan beredar di wilayah Indonesia wajib dilekati pita cukai resmi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tanpa itu, produk dianggap ilegal, dan pelaku terancam pidana penjara maksimal lima tahun atau denda sepuluh kali lipat nilai cukai.
Namun di Sikka, hukum seperti kehilangan daya. Tidak ada operasi besar. Tidak ada penyitaan mencolok. Tidak ada pelaku yang dijadikan contoh. Padahal peredaran terus masif dan terang-terangan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah kejahatan sistematis yang merugikan negara dan menghancurkan prinsip keadilan usaha,” kata Michelson.
Dalam pengamatan GMNI, lemahnya pengawasan dan koordinasi antarinstansi membuka celah besar. Mereka menyebut peredaran rokok ilegal ini berjalan seperti rantai distribusi sah dengan jalur pengantaran, titik penyimpanan, dan jejaring pengecer yang rapi.
“Ini terstruktur. Bukan kerja satu-dua orang,” ujarnya. “Dan justru karena tidak ada tindakan nyata, mereka makin percaya diri.”
Bukan hanya keuangan negara yang dirugikan. Pelaku industri rokok legal di Sikka mengaku kesulitan bersaing karena harga rokok ilegal bisa 30–50 persen lebih murah. Selain itu, masyarakat juga dirugikan karena kualitas produk tidak melalui pengawasan kesehatan.
Pada edisi berikutnya, serial ini akan menelusuri lebih jauh dari mana rokok-rokok ilegal ini masuk ke Sikka. Apakah melalui pelabuhan resmi? Atau lewat jalur-jalur tikus yang tak tersentuh pengawasan?
[Nikolaus Sanggu/IndonesiaKini.id]
BERITA TERKAIT:
1. Rokok Ilegal Marak di Sikka, Pengawasan Longgar, Siapa Bertanggung Jawab? [EDISI 1]
2. Rokok Ilegal Merajalela di Sikka, Pengawasan Lemah dan Pelanggaran Terstruktur [EDISI 2]