Skandal Koperasi SPS Marau: Anggota Tak Digaji, Dana Diduga Disalahgunakan, ARUN Siap Tempuh Jalur Hukum

KETAPANG — Ketua Koperasi Perkebunan Sejahtera Palma Sejati (SPS), yang beroperasi di Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, diduga telah menggelapkan dana milik anggota koperasi. Dugaan ini mencuat setelah sejumlah anggota melaporkan ketidaktransparanan dalam laporan keuangan serta ketimpangan dalam pembagian hasil usaha.

Para anggota mengungkapkan bahwa selama lebih dari empat tahun, mereka tidak pernah menerima pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU), meskipun aktivitas kebun kelapa sawit tetap berjalan normal.

“Selama bertahun-tahun kami tidak pernah menerima pembagian hasil. Kebun tetap berproduksi, tapi kami tidak tahu ke mana uangnya mengalir. Permintaan audit dan transparansi laporan selalu diabaikan,” ungkap salah satu anggota koperasi yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Selain itu, para anggota mengaku tidak pernah menerima slip gaji dan tidak pernah diundang dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT), yang seharusnya menjadi forum evaluasi dan pertanggungjawaban pengurus koperasi.

Kekecewaan anggota memuncak setelah diketahui bahwa beberapa nama yang tercantum dalam Surat Keputusan Calon Petani Calon Lokasi (SK CPCL) tidak menerima gaji maupun SHU. Sementara itu, sebagian anggota lainnya tetap memperoleh hak mereka tanpa hambatan.

Menanggapi tuduhan tersebut, Ketua Koperasi SPS, Julian Arius, menyatakan bahwa koperasi yang dipimpinnya menerapkan sistem full manajemen, di mana seluruh pengelolaan teknis dan keuangan dikendalikan oleh PT Sandika Nata Palma (SNP), anak perusahaan Minamas Group.

“Koperasi ini sepenuhnya dikelola oleh perusahaan. Saya tidak memiliki kewenangan atas pembayaran gaji maupun SHU. Semua ditangani oleh manajemen PT SNP,” ujar Julian saat ditemui di kediamannya, Minggu (2/6/2025).

Ia menambahkan bahwa anggota yang tidak menerima haknya kemungkinan besar tidak lolos verifikasi bank dalam proses akad kredit, meskipun nama mereka tercantum dalam SK CPCL.

“Verifikasi dilakukan oleh tim desa dan pihak bank. Jika tidak lolos, maka mereka dianggap tidak memenuhi syarat,” imbuhnya.

Namun, pernyataan Julian mendapat kritik dari Ketua Dewan Pimpinan Cabang Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) Kabupaten Ketapang, Yakarias Irawan.

Ia menegaskan bahwa nama-nama yang tercantum dalam SK CPCL tidak bisa diabaikan atau dihapus begitu saja tanpa melalui prosedur resmi.

“SK CPCL hanya dapat direvisi oleh instansi yang menerbitkannya, yakni Dinas Perkebunan tingkat kabupaten atau provinsi. Itu pun harus berdasarkan dokumen sah, seperti hasil verifikasi lapangan, surat pengunduran diri, atau putusan pengadilan,” jelas Yakarias, Selasa (3/6/2025).

Ia menambahkan, anggota koperasi yang merasa dirugikan memiliki hak untuk mengajukan keberatan secara administratif ke Dinas Perkebunan atau menempuh jalur hukum melalui Badan Penyelesaian Sengketa. ARUN Ketapang, menurutnya, siap memberikan pendampingan hukum kepada anggota yang mengalami kerugian.

Yakarias juga menekankan bahwa tanggung jawab atas pembagian SHU dari pengelolaan kebun tetap berada di tangan ketua koperasi, sekalipun terdapat kendala verifikasi nama dalam SK CPCL.

Ia menjelaskan, Rencana Anggaran Biaya (RAB) pembangunan kebun seharusnya disusun bersama oleh pihak perusahaan dan pengurus koperasi berdasarkan data yang tercantum dalam SK CPCL.

Lebih lanjut, tim investigasi ARUN menemukan kejanggalan serius terkait pembangunan kebun plasma di Dusun Etete, Desa Sungai Putih. Kebun tersebut, seluas 2.824 hektar, dikelola oleh dua koperasi, yakni Koperasi MOTS dan SPS. SPS sendiri diketahui memiliki 843 anggota CPCL dari dua desa.

Namun, yang dianggap janggal oleh ARUN adalah bahwa pembangunan kebun plasma tersebut berlangsung pada 2007 hingga 2008, sedangkan SK CPCL baru diterbitkan pada 2020. Padahal, penerbitan SK CPCL seharusnya mendahului pembangunan kebun sebagai dasar legalitasnya.

“Ini sangat aneh. SK CPCL seharusnya menjadi dasar sebelum pembangunan dimulai, bukan sebaliknya. Kami menduga ada permainan antara pihak Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, dan instansi terkait lainnya,” tutup Yakarias.

Sukardi