JAKARTA – Pemberian hak monopoli kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menuai sorotan tajam dalam Simposium Nasional yang digelar Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) bekerja sama dengan Universitas Paramadina dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Senin (30/6).
Mengusung tema “Undang-Undang BUMN dalam Perspektif Persaingan Usaha”, forum ini membahas secara mendalam implikasi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, yang merevisi UU Nomor 19 Tahun 2003. Perhatian utama tertuju pada Pasal 86M yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan hak monopoli kepada BUMN atau anak perusahaannya melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Sejumlah pakar hukum dan ekonomi mengkritisi ketentuan tersebut, terutama terkait potensi dampak yuridis, institusional, dan ekonomi yang dapat ditimbulkan. Mereka menekankan perlunya definisi, kriteria, dan indikator yang jelas dalam penyusunan PP sebagai turunan dari pasal tersebut.
Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyatakan pentingnya menjaga keseimbangan antara peran strategis BUMN dan prinsip persaingan usaha yang sehat. Ia mengungkapkan bahwa sejak 2020, KPPU telah menyampaikan enam rekomendasi kebijakan kepada Kementerian BUMN, termasuk usulan mitigasi jabatan rangkap serta penguatan program kepatuhan persaingan usaha.
“Kami ingin memastikan bahwa BUMN dikelola secara profesional dan berdaya saing, namun tetap tunduk pada prinsip-prinsip persaingan yang sehat dan adil,” tegasnya.
Para pakar sepakat bahwa keterlibatan KPPU sangat penting dalam proses penyusunan regulasi turunan, guna memastikan tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dan terciptanya iklim usaha yang sehat.
Simposium ini menjadi wadah strategis bagi para pemangku kepentingan untuk menyuarakan pandangan kritis terhadap peran negara dalam perekonomian nasional, khususnya melalui instrumen BUMN. KPPU berharap forum ini mampu memperkaya perspektif lintas disiplin dalam menyusun kebijakan yang seimbang antara kepentingan negara dan keberlanjutan iklim persaingan yang adil dan kompetitif.