JAKARTA – Berikut ini saya lampirkan, alasan keberatan dari publikasi opini yang dilakukan oleh Saudara Hartanto Boechori, untuk diterbitkan di media Bapak/Ibu Pemimpin Redaksi.
Tulis Opini “Oknum Hakim Agung MA Disemprit Ketua Umum PJI Hartanto Boechori’, Hartanto Boechori Lakukan Pencemaran Nama Baik
Dengan sengaja menyebarkan opini pribadi melalui Whatsapp (WA) dan mempublikasikannya di Media Online secara massif (22/09/2024) dengan Judul “Oknum Hakim Agung MA “Disemprit” Ketua Umum PJI Hartanto Boechori”, Hartanto Boechori dengan sengaja melakukan pencemaran nama baik atas pribadi dan Lembaga Negara. Hal ini bisa diketahui dari pernyataan subjektif dengan pilihan kata menggiring seperti, “aneh”, “kacau”, “lucu”, “dzolim”, “penyalahgunaan kewenangan”, dan bahkan “kejahatan.” Hartanto Boechori hanya mengandalkan pandangan pribadi yang bias dan informasi dari “kawan-kawan”, yang kurang sahih sebagai sumber berita hukum.
Berikut ini adalah analisis lengkap terhadap tulisan dengan judul “Oknum Hakim Agung MA “Disemprit” Ketua Umum PJI Hartanto Boechori” dari perspektif kode etik jurnalistik dan kaidah penulisan berita hukum mengungkap beberapa pelanggaran penting, baik dari segi objektivitas maupun akurasi penulisan berita. Berikut adalah analisis lengkapnya:
1. Objektivitas dan Keseimbangan Berita
Keterangan Sepihak: Tulisan ini jelas hanya memuat pandangan dari satu pihak, yaitu dari pihak Hengky Irawan dan pengacaranya, Lukas Santoso, serta pendapat pribadi penulis Hartanto Boechori. Ini melanggar prinsip dasar jurnalistik yang mengharuskan berita untuk memberikan ruang bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, termasuk perspektif dari pihak ahli waris Ni Putu Kertiari, Mahkamah Agung (MA), maupun pihak yang disebutkan terkait, seperti Liena yang disebut sebagai Ketua Pengadilan Negeri Rembang.
Imparsialitas: Penulis memberikan opini pribadi tentang “aneh”, “kacau”, dan “lucu” terhadap putusan MA. Penyampaian opini semacam ini seharusnya dibedakan dari berita fakta, terutama jika tidak memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk merespon.
2. Presumption of Innocence (Praduga Tak Bersalah)
Tuduhan Tidak Berdasar: Penulis menggunakan kata kata seperti “tindakan dzolim”, “penyalahgunaan kewenangan”, dan bahkan “kejahatan”, yang merupakan tuduhan serius terhadap oknum Hakim Agung tanpa bukti atau klarifikasi dari pihak yang dituduh. Ini melanggar prinsip praduga tak bersalah dan dapat mengarah pada pencemaran nama baik.
3. Akurasi dan Verifikasi Fakta
Fakta yang Belum Terkonfirmasi: Ada dugaan mengenai hubungan personal antara Liena (ahli waris) dengan pimpinan Mahkamah Agung, tetapi ini hanya berdasarkan informasi dari “kawan kawan” dan tidak ada verifikasi lebih lanjut. Dalam penulisan berita hukum, penting untuk memverifikasi informasi semacam ini sebelum disampaikan ke publik.
Kekeliruan dalam Penafsiran Kewenangan MA: Tulisan ini menyatakan bahwa MA tidak memiliki kewenangan memeriksa ulang fakta, namun menilai fakta baru dalam proses kasasi. Namun, dalam proses hukum di Indonesia, MA memang berwenang menilai penerapan hukum yang berkaitan dengan fakta yang relevan dalam kasus tersebut. Pernyataan bahwa MA “tidak memiliki kewenangan” tampak sebagai penilaian pribadi tanpa landasan hukum yang jelas.
4, Etika Jurnalistik
Bahasa yang Tidak Profesional: Menggunakan istilah “bingung”, “kacau”, dan “lucu” terhadap keputusan pengadilan adalah bentuk penilaian yang subjektif dan tidak sesuai dengan norma profesionalisme dalam penulisan jurnalistik. Penulis juga menyebutkan bahwa MA memutuskan tanpa dasar hukum yang jelas, yang sebenarnya merupakan opini tanpa didukung oleh penjelasan rinci dari pihak pengadilan terkait.
Potensi Pencemaran Nama Baik: Tuduhan terhadap oknum Hakim Agung, yang disertai dugaan kedekatan personal dengan pimpinan MA, dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik jika tidak disertai bukti kuat. Ini juga dapat menyebabkan potensi litgasi hukum terhadap penulis maupun media yang menerbitkannya.
5. Kaidah Penulisan Berita Hukum
Bahasa yang Tidak Netral: Penulis menggunakan kata-kata yang bernuansa emosional seperti “dzolim”, “kejahatan”, dan “kacau” yang menandakan bias. Dalam penulisan berita hukum, sangat penting untuk menggunakan bahasa yang netral dan obyektif, serta menjaga integritas laporan tanpa memberikan penilaian subjektif.
Tidak Mengutip Sumber yang Sah: Pernyataan yang diberikan dalam tulisan ini tidak didukung oleh kutipan dari pihak resmi seperti putusan pengadilan, klarifikasi dari Mahkamah Agung, atau pendapat ahli hukum yang independen. Penulis hanya mengandalkan pandangan pribadi yang bias dan informasi dari “kawan-kawan”, yang kurang sahih sebagai sumber berita hukum.
6. Potensi Penyebaran Informasi yang Menyesatkan
Klarifikasi Fakta yang Tidak Dilakukan: Penulis seharusnya memberikan ruang klarifikasi kepada pihak MA dan ahli waris untuk menjelaskan dasar keputusan tersebut. Tanpa klarifikasi ini, tulisan menjadi Sangat sepihak dan dapat menyesatkan pembaca dengan asumsi yang belum tentu benar.
Secara keseluruhan, tulisan ini tidak mematuhi standar jurnalistik yang objektif dan akurat, serta melanggar kode etik jurnalistik dan melanggar UU ITE dengan menyajikan informasi sepihak tanpa klarifikasi atau verifikasi dari pihak terkait. (Hendri)