Batas Desa di Kecamatan Sandai Belum Jelas, Rentan Timbulkan Konflik Antarwarga

KETAPANG – Ketidakjelasan tapal batas desa berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan perampasan hak milik, sehingga dapat memicu perselisihan hingga konflik antarwarga di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Kondisi ini paling dirasakan di desa-desa perbatasan dan desa yang memiliki potensi sumber daya alam. Oleh karena itu, persoalan batas desa perlu segera diselesaikan dan dideteksi sedini mungkin untuk mencegah potensi konflik.

Lambannya penyelesaian persoalan ini diduga karena kurang tegasnya Pemerintah Kabupaten Ketapang dalam mengambil keputusan, sehingga penanganannya terkesan terbengkalai.

Desakan pun datang dari Sapuan (48), warga Desa Sandai Kiri. Ia mengungkapkan bahwa konflik tapal batas desa di Kecamatan Sandai sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa kejelasan.

“Masalah ini sudah terjadi sekian tahun, dan sampai sekarang belum ada keputusan yang jelas, sehingga banyak masyarakat dirugikan,” ujarnya.

Melalui pesan singkat WhatsApp kepada awak media, Sapuan juga mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah.

“Apakah Pemda Kabupaten Ketapang tidak sanggup menyelesaikan masalah tapal batas desa di Kecamatan Sandai?” sebutnya.

Secara terpisah, Beni Hardian (52), warga Ketapang, menyampaikan bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 45 Tahun 2016 telah mengatur secara jelas mengenai penetapan dan penegasan batas desa.

“Dalam Permendagri dijelaskan bahwa tujuan penetapan dan penegasan batas desa adalah untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu desa, sehingga memenuhi aspek teknis dan yuridis,” ujarnya pada Selasa, 22 April 2025.

Menurut Beni, kejelasan batas wilayah sangat penting agar penyelesaian sengketa lahan bisa dilakukan secara cepat dan tepat.

Sementara itu, Yayat Darmawi, Koordinator Lembaga Tim Investigasi dan Analisis Korupsi, dalam keterangan yuridisnya melalui WhatsApp, menyampaikan bahwa permasalahan batas desa di Kecamatan Sandai harus diperjelas secara hukum.

“Kalau batas wilayah tidak jelas, itu akan menjadi pemicu konflik agraria, baik antarwarga maupun antara warga dengan perusahaan perkebunan,” ujarnya.

Yayat mencontohkan kasus di Desa Semangau, Kabupaten Sambas, di mana masyarakat kesulitan mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) karena persoalan batas wilayah yang belum tuntas.

“Warga tidak bisa menerbitkan SHM untuk rumah mereka karena menurut BPN Kabupaten Sambas, masih ada masalah batas wilayah desa. Padahal mereka sudah tinggal secara turun-temurun di wilayah itu,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa ketidakjelasan batas wilayah sangat merugikan warga. “Kalau persoalan seperti ini tidak diselesaikan, warga bisa seumur hidup tidak memiliki bukti sah kepemilikan tanah maupun rumah,” cetus Yayat.

Lebih lanjut, Yayat menambahkan bahwa dari perspektif hukum, sertifikat tanah merupakan bukti kepemilikan sah yang dikeluarkan pemerintah melalui BPN. Sertifikat ini menjadi alat bukti yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pemilik tanah.

“Payung hukumnya ada pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, PP Nomor 24 Tahun 1997, serta Permen Agraria atau Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997. Hak warga untuk memperoleh sertifikat bisa terpenuhi apabila syarat pendukung seperti kejelasan tapal batas wilayah sudah dipenuhi,” pungkasnya.

(Sukardi)