JAKARTA – Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Choirul Anam, mengkritik rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilainya belum mencerminkan semangat perlindungan hak asasi manusia (HAM). Salah satu poin yang disorot adalah ketentuan masa penahanan yang bisa mencapai 60 hari, yang dinilai terlalu panjang dan tidak memberikan kepastian hukum bagi tersangka.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) pada Jumat (2/5/2025), Anam menyebut perpanjangan masa penahanan justru berpotensi memperlambat proses hukum.
“Logika penahanan itu seharusnya untuk mempercepat proses hukum, bukan malah membuatnya berlarut-larut. Kalau dulu tambahan penahanan 20 hari, kini bisa mencapai 40 hari tambahan. Total 60 hari tanpa kepastian hukum—ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Anam menegaskan bahwa hukum acara pidana, termasuk KUHAP dan revisinya, menyangkut aspek fundamental hak individu, sehingga harus disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM. Menurutnya, proses hukum yang lamban bisa merugikan banyak pihak, mulai dari tersangka hingga korban dan saksi.
Ia juga menyoroti ketimpangan antara kemajuan teknologi pembuktian dengan lambannya penanganan hukum di lapangan.
“Di era bukti elektronik yang bisa segera dianalisis, mengapa proses hukum masih seperti dulu? Kalau sudah ada CCTV atau rekaman video yang jelas, kenapa penahanan tetap dilakukan begitu lama?” kritiknya.
Kendati demikian, Anam tetap mengapresiasi beberapa hal positif dalam draf RKUHAP, seperti adanya perlindungan terhadap kelompok rentan serta pelibatan jaksa sejak awal proses gelar perkara. Namun ia menekankan bahwa semangat utama revisi hukum acara pidana harus berpihak pada perlindungan hak-hak semua pihak, bukan hanya mengejar efisiensi penindakan. [Zefferi]