Polemik HGB di Laut Sidoarjo: Legalitas Dipertanyakan, Pakar Hukum Unair Angkat Bicara

SURABAYA – Polemik mengenai sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan Sidoarjo kembali mencuat. Hal ini dipicu oleh keberadaan HGB seluas 656 hektare di laut utara Jawa Timur, tepatnya di Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Sertifikat tersebut tercatat atas nama tiga perusahaan, yakni PT Surya Inti Pertama dengan luas 285,16 hektare dan 219,31 hektare, serta PT Semeru Cemerlang dengan luas 152,36 hektare, yang telah terdaftar sejak puluhan tahun lalu.

Dosen Hukum Laut Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. Nilam Andalia Kurniasari, S.H., LL.M., menegaskan bahwa dalam hukum laut tidak ada konsep hak atas tanah di ruang laut. Hak atas tanah hanya berlaku di daratan, bukan di wilayah perairan.

“Jika suatu wilayah daratan mengalami abrasi dan berubah menjadi perairan, pemilik tanah masih memiliki hak untuk melakukan pengurukan sesuai batas sertifikatnya. Namun, jika sejak awal wilayah tersebut merupakan perairan, tidak ada dasar hukum yang mengakui kepemilikan tanah di ruang laut,” tegasnya.

Lebih lanjut, Nilam menyoroti dampak hukum internasional dari pengurukan laut. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) Pasal 16, setiap perubahan garis pangkal (baseline) harus dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, UNCLOS juga menetapkan bahwa baseline yang telah diajukan bersifat tetap dan tidak dapat diubah.

“Indonesia sebagai negara kepulauan harus berhati-hati dalam melakukan pengurukan karena dapat berdampak pada klaim kedaulatan dan hak navigasi negara lain. Jika pembangunan pagar laut menghambat jalur navigasi internasional, Indonesia bisa dianggap melanggar hukum laut internasional,” jelas Nilam.

Untuk memastikan apakah suatu wilayah dulunya merupakan daratan sebelum terabrasi, dapat dilakukan verifikasi melalui peta resmi negara, citra satelit, serta data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan instansi terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atau TNI Angkatan Laut.

Nilam juga menyinggung kasus serupa di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, di mana sertifikat tanah dicabut oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, karena cacat administrasi. Ia menilai bahwa pencabutan sertifikat yang bermasalah memang sudah sesuai dengan hukum, tetapi perlu ada investigasi lebih lanjut mengenai pihak yang bertanggung jawab atas penerbitannya.

“Setiap pelanggaran hukum harus diikuti dengan penegakan hukum. Sanksi dan proses hukum lebih lanjut merupakan ranah ahli hukum pidana dan administrasi,” tambahnya.

Polemik ini menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam menata kebijakan tata ruang laut. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan agraria dan tata ruang laut sejalan dengan prinsip hukum laut serta mempertimbangkan aspek lingkungan dan kedaulatan negara.

“Sudah saatnya pemerintah mengintrospeksi diri terkait hukum laut, pengawasan, penegakan hukum, serta manajemen ruang laut. Semua ini harus dikaji secara serius agar Indonesia bisa menjadi negara maritim yang kuat,” pungkas Nilam.